Jumat, 12 September 2014

Makalah Akad Ba’i, Ba’i Murabahah, Ba’i Salam dan Ba’i Istishna’




Akad Ba’i, Ba’i Murabahah, Ba’i Salam dan Ba’i Istishna’
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqh Muamalah II
Dosen Pengampu: Abdul Ghofur





 
 
      Disusun Oleh:
1.      Naili Rifatul Latifah (122311124)
2.      Budi Triyono          (122311127)
3.      Ummu Salamah      (122311128)
      Muamalah (MUA5)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau gharar (untung-untungan).
Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan. Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut. Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga.
Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Pengertian Akad  Ba’i ?
2.      Apa Ba’i Murabahah ?
3.      Apa Ba’i Salam ?
4.      Apa Ba’i Istishna’?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Akad Bai’
Pengertian Akad Bai’
Secara liungistik, al bai’ (jual beli) bererti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Menurut imam Nawawi adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki.[1]
Landasan Hukum
                        Qs. An-Nisaa’: 29
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.[2]
Syarat Bai’
a.       Syarat In’iqad
b.      Syarat Nafadz
c.       Syarat Syah
d.      Syarat Luzum


Rukun Bai’
Mayoritas ulama’ (jumhur), rukun yang terdapat dalam akad jual beli terdiri dari:
Ø  ‘akid (penjual dan pembeli)
Ø  Ma’qud ‘alaih (harga dan objek)
Ø  Sighat (ijab qabul)[3]

B.     Akad Bai’ Murabahah
Pengertian Akad Ba’i Murabahah
Ba’i Al Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.[4] Dalam Ba’i murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang dibeli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Ba’i Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan bisa disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian. Dalam kitab al-Umm, imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-aamir bisy-syira.[5]
Landasan Hukum
a.       Al-Quran
وَأَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوأ...
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(Qs. Al-Baqarah: 275)

b.      Hadist
Dari suhaib ar-Rumi ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan :jual beli secara tangguh, muqaradhah, dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majjah).


                     Syarat Ba’i Murabahah
a.       Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
b.      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
c.       Kontrak harus bebas dari riba
d.      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang setelah pembelian
e.       Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.

Secara prinsip, jika syarat (a), (d), atau (e) tidak terpenuhi, pembeli memiliki pilihan:
a.       Melanjutkan pembelian seperti apa adanya
b.      Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual
c.       Membatalkan kontrak.

Manfaat Ba’i Murabahah
Sesuai dengan sifat bisnis (Tijarah), transaksi ba’i murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi.
Ba’i Murabahah memberi banyak manfaat kepada Bank Syariah, salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem ba’i murabahah juga sangat sederhana.
Diantara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut:
a.       Default atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran
b.      Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut
c.       Penolakan nasabah, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya.
d.      Dijual, karena ba’i murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika demikian, resiko untuk default akan besar.[6]

C.     Ba’i Salam
       Pengertian Ba’i Salam adalah pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.[7]
Ulama Syafi’iyah menjelaskan, salam adalah akad atas barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang di tangguhkan penyerahanya pada waktu tertentu dimana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad. Salam biasanya diaplikasikan pada pembiayaan petani (agribisnis) dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 2-6 bulan. Salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang manufaktur, seperti garmen, dimana ukuran barang itu sudah ditentukan spesifikasinya. Dalam hal ini pihak bank bertindak sebagai pembeli, sedangkan petani/pemilik garmen adalah sebagai penjual.

Landasan Syariah
Bai’ salam merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an, Hadits maupun ijma ulama. Dalil yang memperbolehkan praktik jual beli salam yaitu:
Al-Qur’an
Qs. Al-Baqarah : 282
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 ..
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”



Al-Hadis
Ibnu abbas meriwayatkan bahwa rasullulah saw. Datang ke madinah di mana penduduknya melakukan salaf (Salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua dan tiga tahun. Beliau berkata :
       “Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”
Rukun bai’ as-Salam
a.       Muslim (atau pembeli)
b.      Muslam alaih (atau penjual)
c.       Modal atau uang
d.      Muslam fiihi (atau barang)
e.       Sighat (ucapan)
Syarat Bai’ as-Salam
a.       Modal harus Diketahui
b.      Penerimaan pembayaran salam harus tunai
Manfaat Bai’ Salam
Manfaatnya adalah selisih harga yang di dapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.[8]
D.    Bai’ Istishna’
Ba’i Istishna’ adalah membeli sesuatu dengan pesanan, jual beli ini telh dikenal sebelum islam.[9]
Jual beli semacam ini boleh dilakukan dalam semua yang biasa diproduksi sesuai dengan pesanan. Rukunnya adalah ijab dan Qabul. Hukumnya adalah tetapnya kepemilikan atas penukar dan barang. Dan syarat syahnya adalah penjelasan tentang jenis barang yang dipesan, tipenya, ciri-cirinya dan kadarnya dengan penjelasan yang dapat menghilangkan ketidaktahuan dan menghindari perselisihan.[10]
Transksi bai’istishna’ merupkan kontrak penjualan antara pembeli dan pembat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Kedua belah pihak bersepakat atas hargaserta sistem pembayaran, apakah pemayaran dilakukan di muka,melalui cicilan, atau ditangguhkn sampai suatu waktu pada masa yan akan datang. [11]
                        Landasan  Bai’ Istishna’
                               Menurut Hanafiyah, bai’ iatishna’ diperbolehkan dengan alasan istihsanan, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi kebiasaan (‘urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang mengingkarinya. Akad istishna’ diperbolehk karena ada ijma’ ulama. Menurut ulama’ Malikiyah, Syafi’iyyah , dan Hanabalah, akad istishna’ sah dengan landasan diperbolehkanya akad salam, dan telah menjadi kebiasaan umat manusia dalam bertransaksi (‘urf). Dengan catatan, terpenuhinya syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam akad salam.
                        Rukun dan Syarat Bai’ Istishna’
                               Dalam jual beli istishna’ , terdapat rukun yang harus dipenuhi, yakni pemesan (mustashni’), penjual/pembuat (shani’), barang/objek (mashnu’) dan sighat (ijab qabul). Syarat yang diajukan ulama untuk diperbolehkan transaksi jual beli istishna’ adalah:
1.      Adanya kejelasan jenis, macam, ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan objek transaksi yang harus diketahui spesifikasinya.
2.      Merupakan barang yang biasa ditransaksikan/berlaku dakam hubungan antar manusia.
3.      Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang ditetapkan, maka kontak ini akan berubah menjadi akad salam.[12]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al bai’ (jual beli) bererti pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu.
Bai’ Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang di sepakati. Dalam murabahah penjual harus memberitahu harga produk yang di beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat di lakuakan dengan pembelian secara pemesanan dan biasa di sebut sebagai murabahah pemesanana pembelian.
 Bai’ Salam adalah akad atas barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang di tangguhkan penyerahanya pada waktu tertentu dimana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad.
Bai’ Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya meminta di buatkan. Menurut terminologi artinya perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
B.     Saran
Demikian makalah yang kami buat, kami meyadari makalah ini jauh dari kata kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran dari teman-teman sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi pemakalah khususnya. Amiin




Daftar pustaka
Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 1999. Bank Syariah suatu Pengenalan Umum. Jakarta: Tazkia Institute.
Sabiq, Sayyid. Tth. Fikih Sunnah 5. Jakarta: Cakrawala Publishing.


[1] Dimyudin Djuwini, Pengantar Fiqh Muamalah ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Hlm 69
[2]  Dimyudin Djuwini, Pengantar Fiqh Muamalah ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Hlm 69
[3] Op. Cit hlm 73-81
[4] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001) hlm. 101
[5] Ibid, hlm. 102
[6] Ibid, hlm. 107
[7] Ibid, hlm. 108
[8] Muhammad syafi’i antonio, islamic banking bank syari’ah, ( jakarta: gemainsani 2001 ) hlm 112
[9]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, (jakarta: Cakrawala Publishing, tth)hlm.
[10]Ibid, hlm.
[11] Muhammad syafi’i antonio, islamic banking bank syari’ah, ( jakarta: gemainsani 2001 ) hlm 159
[12] Dimyudin Djuwini, Pengantar Fiqh Muamalah ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Hlm 138-139.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar