Akad Ba’i, Ba’i Murabahah, Ba’i Salam dan Ba’i Istishna’
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqh Muamalah II
Dosen Pengampu: Abdul Ghofur

Disusun Oleh:
1. Naili Rifatul Latifah (122311124)
2. Budi Triyono (122311127)
3. Ummu Salamah (122311128)
Muamalah (MUA5)
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah
dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan
kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad
dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak
mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau gharar
(untung-untungan).
Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan
berupa jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada
waktu yang ia inginkan. Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga
yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan
kepada barang tersebut. Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang
tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya penjual mendapatkan modal
untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat
menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga.
Dengan demikian selama belum jatuh tempo,
penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya
dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun. Penjual
memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya
tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup
lama.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa Pengertian Akad Ba’i ?
2. Apa Ba’i Murabahah ?
3. Apa Ba’i Salam ?
4. Apa Ba’i Istishna’?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Akad Bai’
Pengertian Akad Bai’
Secara liungistik, al bai’ (jual beli) bererti pertukaran
sesuatu dengan sesuatu. Secara istilah, menurut
madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta (mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu. Menurut imam
Nawawi adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki.[1]
Landasan Hukum
Qs. An-Nisaa’: 29
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.[2]
Syarat Bai’
a. Syarat In’iqad
b. Syarat Nafadz
c. Syarat Syah
d. Syarat Luzum
Rukun Bai’
Mayoritas ulama’ (jumhur), rukun yang terdapat dalam
akad jual beli terdiri dari:
Ø ‘akid
(penjual dan pembeli)
Ø Ma’qud
‘alaih (harga dan objek)
B. Akad Bai’ Murabahah
Pengertian
Akad Ba’i Murabahah
Ba’i Al Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan
keuntungan yang disepakati.[4]
Dalam Ba’i murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang dibeli dan
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Ba’i Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan bisa
disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian. Dalam kitab al-Umm, imam
Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-aamir bisy-syira.[5]
Landasan
Hukum
a. Al-Quran
وَأَحَلَ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوأ...
“Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”
(Qs. Al-Baqarah: 275)
b. Hadist
Dari suhaib ar-Rumi ra. Bahwa
Rasulullah saw bersabda “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan :jual
beli secara tangguh, muqaradhah, dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah, bukan untuk dijual”. (HR. Ibnu Majjah).
Syarat Ba’i Murabahah
a. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah
b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan
c. Kontrak harus bebas dari riba
d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang
setelah pembelian
e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
Secara prinsip, jika syarat (a), (d), atau (e)
tidak terpenuhi, pembeli memiliki pilihan:
a. Melanjutkan pembelian seperti apa adanya
b. Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang
dijual
c. Membatalkan kontrak.
Manfaat Ba’i Murabahah
Sesuai dengan sifat
bisnis (Tijarah), transaksi ba’i murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian
juga resiko yang harus diantisipasi.
Ba’i Murabahah memberi
banyak manfaat kepada Bank Syariah, salah satunya adalah adanya keuntungan yang
muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah.
Selain itu, sistem ba’i murabahah juga sangat sederhana.
Diantara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut:
a. Default atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran
b. Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar
naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga
jual beli tersebut
c. Penolakan nasabah, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah
karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah
tidak mau menerimanya.
d. Dijual, karena ba’i murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika
kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas
melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya.
Jika demikian, resiko untuk default akan besar.[6]
C. Ba’i Salam
Pengertian Ba’i Salam adalah
pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka.[7]
Ulama Syafi’iyah menjelaskan, salam adalah akad atas barang pesanan dengan spesifikasi tertentu
yang di tangguhkan penyerahanya pada waktu tertentu dimana pembayaran dilakukan
secara tunai di majlis akad. Salam biasanya diaplikasikan
pada pembiayaan petani (agribisnis) dengan jangka waktu yang relatif pendek,
yaitu sekitar 2-6 bulan. Salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang
manufaktur, seperti garmen, dimana ukuran barang itu sudah ditentukan
spesifikasinya. Dalam hal ini pihak bank bertindak sebagai pembeli, sedangkan
petani/pemilik garmen adalah sebagai penjual.
Landasan Syariah
Bai’ salam merupakan
akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang
terdapat dalam Al-Qur’an, Hadits maupun ijma ulama. Dalil yang memperbolehkan
praktik jual beli salam yaitu:
Al-Qur’an
Qs. Al-Baqarah : 282
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4 ..
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”
Al-Hadis
Ibnu abbas
meriwayatkan bahwa rasullulah saw. Datang ke madinah di mana penduduknya
melakukan salaf (Salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua dan
tiga tahun. Beliau berkata :
“Barang siapa yang melakukan salaf
(salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang
jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”
Rukun bai’ as-Salam
a.
Muslim (atau pembeli)
b.
Muslam alaih (atau penjual)
c.
Modal atau uang
d.
Muslam fiihi (atau barang)
e.
Sighat (ucapan)
Syarat Bai’ as-Salam
a.
Modal harus Diketahui
b.
Penerimaan pembayaran salam harus tunai
Manfaat Bai’ Salam
Manfaatnya adalah
selisih harga yang di dapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.[8]
D. Bai’
Istishna’
Ba’i
Istishna’ adalah membeli sesuatu dengan pesanan, jual beli ini telh dikenal
sebelum islam.[9]
Jual
beli semacam ini boleh dilakukan dalam semua yang biasa diproduksi sesuai
dengan pesanan. Rukunnya adalah ijab dan Qabul. Hukumnya adalah tetapnya
kepemilikan atas penukar dan barang. Dan syarat syahnya adalah penjelasan
tentang jenis barang yang dipesan, tipenya, ciri-cirinya dan kadarnya dengan
penjelasan yang dapat menghilangkan ketidaktahuan dan menghindari perselisihan.[10]
Transksi bai’istishna’ merupkan kontrak penjualan
antara pembeli dan pembat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima
pesanan dari pembeli. Kedua belah pihak bersepakat atas hargaserta sistem
pembayaran, apakah pemayaran dilakukan di muka,melalui cicilan, atau
ditangguhkn sampai suatu waktu pada masa yan akan datang. [11]
Landasan Bai’ Istishna’
Menurut Hanafiyah, bai’ iatishna’ diperbolehkan dengan
alasan istihsanan, demi kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi
kebiasaan (‘urf) dalam beberapa masa tanpa ada ulama yang
mengingkarinya. Akad istishna’ diperbolehk karena ada ijma’ ulama.
Menurut ulama’ Malikiyah, Syafi’iyyah , dan Hanabalah, akad istishna’ sah
dengan landasan diperbolehkanya akad salam, dan telah menjadi kebiasaan
umat manusia dalam bertransaksi (‘urf). Dengan catatan, terpenuhinya
syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam akad salam.
Rukun dan
Syarat Bai’ Istishna’
Dalam
jual beli istishna’ , terdapat rukun
yang harus dipenuhi, yakni pemesan (mustashni’),
penjual/pembuat (shani’), barang/objek
(mashnu’) dan sighat (ijab qabul). Syarat yang diajukan ulama untuk diperbolehkan
transaksi jual beli istishna’ adalah:
1. Adanya kejelasan jenis, macam,
ukuran dan sifat barang, karena ia merupakan objek transaksi yang harus
diketahui spesifikasinya.
2. Merupakan barang yang biasa
ditransaksikan/berlaku dakam hubungan antar manusia.
3. Tidak boleh adanya penentuan
jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang ditetapkan, maka kontak ini
akan berubah menjadi akad salam.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al bai’ (jual beli) bererti pertukaran sesuatu dengan sesuatu.
Secara istilah, menurut madzhab Hanafiyah, jual beli adalah pertukaran harta
(mal) dengan harta dengan menggunakan cara tertentu.
Bai’ Murabahah adalah jual beli
barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang di sepakati. Dalam
murabahah penjual harus memberitahu harga produk yang di beli dan menentukan
suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Murabahah dapat di lakuakan
dengan pembelian secara pemesanan dan biasa di sebut sebagai murabahah
pemesanana pembelian.
Bai’
Salam adalah akad atas barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang di
tangguhkan penyerahanya pada waktu tertentu dimana pembayaran dilakukan secara
tunai di majlis akad.
Bai’ Istishna’ atau pemesanan
secara bahasa artinya meminta di buatkan. Menurut terminologi artinya
perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan
syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara
bahan bakunya dari pihak penjual.
B.
Saran
Demikian makalah yang kami
buat, kami meyadari makalah ini jauh dari kata kesempurnaan. Untuk itu kritik
dan saran dari teman-teman sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi pemakalah khususnya. Amiin
Daftar pustaka
Djuwaini, Dimyauddin.
2008. Pengantar Fiqh Muamalah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syafi’i Antonio,
Muhammad. 2001. Bank Syariah dari teori
ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Syafi’i Antonio,
Muhammad. 1999. Bank Syariah suatu
Pengenalan Umum. Jakarta: Tazkia Institute.
Sabiq, Sayyid. Tth. Fikih Sunnah 5.
Jakarta: Cakrawala Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar