SEJARAH
POLITIK ISLAM MASA KHULAFAUR ROSYIDIN
Makalah di
susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah :
Fiqh Siyasah
Dosen Pengampu
: Dr H. Imam Yahya
MAg,
Di susun oleh
:
1.
Aizatul Fiqiyah (122311024)
2.
Iffa Rifqi Lutfiana (122311050)
3.
Budi Triyono (122311127)
4.
Ummu Salamah (122311128)
(MUAMALAH A IV
)
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dengan wafatnya Nabi,
berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah islam, yakni kehadiran
seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal yang
berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu ilahi. Situasi tersebut tidak akan
terulang kembali, karena menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi
dan utusan tuhan yang terakhir. Sementara itu, beliau tidak meninggalkan wasiat
atau pesan tentang siapa di antara para sahabat yang harus menggantikan beliau
sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Quran maupun hadist Nabi tidak terdapat
petunjuk tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara
sepeninggal beliau, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat islam
mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama
melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah
itu harus diselenggarakan. Itulah salah satu sebab utama mengapa pada empat
Khulafaur Rasyidin ditentukan melalui musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya
beraneka ragam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perilaku politik pada masa
Khulafaur Rasyidin ?
2. Bagaimana kaitannya sejarah politik islam dengan konteks indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perilaku politik pada Masa Khalifah
1. Pemerintah Abu Bakar (11-13 H)
Pengangakatan Abu Bakar
menjadi Khalifah merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khalifah dalam
sejarah Islam. Pengangkatannya untuk memangku jabatan tersebut merupakan kesepakatan antara kaum
Anshar dan Kaum Muhajirin dalam musyawarah mereka di Tsaqifah Bani Saidah.[1]
Pemilihan Abu Bakar yang
terjadi di Tsaqifah, tampak tidak berjalan mulus tanpa hambatan. Bahkan umar
sendiri menyebutkan peristiwa terjadi di Tsaqifah dan pembaiatan Abu Bakar
sebagai “faltah”, yakni kejadian spontan yang tanpa dipikirkan dan direncanakan
sebelumnya. Pemilihan Abu bakar tidak diterima oleh semua pihak.
Penentang bai’at Abu Bakar yang paling keras dari
kalangan Muhajirin adalah Fatimah putri Rasulullah. Fatimah sangat kecewa
terhadap Abu Bakar karena tiga hal: pertama, Abu bakar meninggalkan Rasulullah
tanpa segera dikuburkan, tetapi justru berebut kekuasaan. Kedua, fatimah
menuntut warisan fadak, sebidang kebun di luar Madinah, yang telah diberikan
Rasulullah ketika masih hidup namun Abu Bakar menolak memberikannya dengan
alasan bahwa para Nabi tidak mewariskan, dan yang mereka tinggalkan adalah
sedekah. Ketiga, Abu Bakar bertindak kelewat batas dengan memerintahkan
penyerbuan rumah Fatimah.[2]
Pertemuan politik itu
merupakan peristiwa sejarah yang penting bagi umat Islam. Suatu peristiwa yang
mengikat mereka tetap berada dalam satu kepemimpinan pemerintahan. Dan
terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah pertama, menjadi dasar terbentuknya
pemerintahan sistem khalifah dalam Islam, yang terkenal dengan khilaf Khulafa’
Al Rasyidin. Sistem ini berlangsung hingga awal abad XX dengan corak yang
berlainan. Pemerintahan model khalifah di dunia islam berakhir di Turki sejak
Mustafa Kemal menghapusnya pada 3 Maret 1924.
Setelah dikukuhkan oleh
umat menjadi khalifah, Abu Bakar menyampaikan pidato penerimaan jabatannya itu
di Masjid Nabawi : “wahai manusia, sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan, padahal aku
bukan orang terbaik di antara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku dengan
baik maka bantulah aku, dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku.
Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan kedustaan adalah suatu pengkhianatan.
Orang yang lemah di antara kamu adalah orang yang kuat bagiku sampai aku
memenuhi hak-haknya, dan orang kuat di antara kamu lemah bagiku hingga aku
mengambil haknya, Insya Allah. Janganlah seseorang dari kamu meninggalkan
jihad. Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad, maka Allah akan
menimpakan atas mereka suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sekali
kali janganlah kamu menaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu”.[3]
Pidato tersebut
menggambarkan garis politik dan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan Abu Bakar
dalam pemerintahannya. Di dalamnya ia menggariskan beberapa hal penting, yaitu
menjamin kebebasan berpendapat bagi rakyat untuk mengkritiknya bila ia tidak
benar dalam menjalankan pemerintahannya, menuntut ketaatan dari rakyat selama
ia taat kepada Allah dan Rasul, mewujudkan keadilan dengan memberikan hak-hak
orang lemah dan mengambil hak-hak orang kuat untuk melaksanakan kewajiban
mereka bagi kepentingan masyarakat dan negara, dan mendorong umat agar gemar
berjihad dan mendirikan shalat sebagai salah satu inti dari taqwa.[4]
Tantangan pertama
pemerintahan Abu Bakar adalah menunjukkan kepada para penentangnya bahwa ia
tampil sebagai pemimpin untuk menyelamatkan umat Muhammad dari fitnah atau
perpecahan internal umat islam dan tindakan murtad dari mereka yang masih lemah
iman, sambil menunjukkan kepada para penentangnya dan kepada umat bahwa ia
secara pribadi tidak berambisi pada kekuasaan. Kebijakan Abu Bakar untuk
menggunakan cara-cara diplomasi kepada para penentangnya dianggap cukup
berhasil, terbukti dengan “bai’at susulan” dari Ali dan kelompoknya dan setelah
itu tidak tampak lagi adanya gejolak. Tetapi, terhadap mereka yang melakukan
tindakan murtad dan keengganan membayar zakat, cara-cara diplomasi agaknya
tidak akan efektif. Mereka bukan orang-orang yang terbiasa menggunakan kekuatan
logika, tetapi logika kekuatan. Perang terhadap kelompok ini merupakan
alternatif yang paling memungkinkan. Kebijakan memerangi mereka inilah yang
ditempuh Abu Bakar. Sebelum menempuh kebijakan ini Abu Bakar mengadakan rapat
untuk meminta saran kepada sahabat-sahabatnya. Sebagian besar
sahabat-sahabatnya termasuk umar bin Khattab tidak menghendaki memerangi
kelompok pembangkang.
Untuk melaksanakan
keputusan tersebut, Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menunjuk pemimpin
masing-masing. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh khalifah Abu Bakar untuk
membentuk beberapa pasukan tersebut, dari segi tata negara, menunjukkan bahwa
ia juga memegang jabatan panglima tertinggi tentara islam.
Faktor keberhasilan Abu
Bakar yang lain ialah membangun pranata sosial di bidang politik dan pertahanan
keamanan. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari sikap keterbukaan beliau,
yaitu memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada tokoh-tokoh sahabat untuk
ikut membicarakan berbagai masalah sebelum ia mengambil keputusan melalui forum
musyawarah sebagai lembaga legislatif.
Sedangkan tugas-tugas
eksekutif ia delegasikan kepada para sahabat baik untuk pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan di madinah maupun pemerintah di daerah. Untuk menjalankan
pemerintahan di Madinah ia mengangkat Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan dan
Zaid bin Tsabit sebagai khatib (sekretaris) dan Abu Ubaidah sebagai
bendaharawan mengurus baitul mal. Di bidang tugas kemiliteran ia mengangkat
panglima perang, untuk tugas yudikatif ia mengangkat Umar bin Khattab sebagai
hakim agung.
Adapun urusan pemerintahan
di luar kota Madinah, khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hukum negara
Madinah menjadi beberapa propinsi, dan setiap propinsi ia menugaskan seorang
amir atau wali (gubernur).
Praktek pemerintahan Abu
Bakar di bidang pranata sosial ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan sosial rakyat. Untuk kemaslahatan rakyat ini ia mengelola zakat,
infaq, shadaqah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah dan jizyah dari warga
negara non muslim, sebagai sumber pendapatan baitul mal. Penghasilan yang
diperoleh dari sumber pendapatan negara ini dibagikan untuk kesejahteraan
tentara, gaji para pegawai negara, dan kepada rakyat yang berhak menerimanya
sesuai dengan ketentuan Al-Quran.
Abu Bakar Shiddiq
menjabat khalifah selama 2 tahun, 6 Bulan, 4 hari. Selama menjalankan
pemerintahan, hal-hal penting yang dilakukan adalah diteruskannya pengirim
pasukan Usamah menghadapi Rumawi yang pernah dipersiapkan Rasulullah sebelum
meninggalnya, perang melawan orang-orang murtad dan para pembangkang yang tidak
mau membayar zakat, perang terhadap Musailamah al-Kadzdzab (yang mengakui
nabi), dan pengumpulan Al-Quran.[5]
2. Pemerintahan Umar bin Khattab (13-23 H)
Berbeda dengan Abu Bakar,
Umar bin Khattab mendapatkan kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui
pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukan
atau wasiat oleh Abu Bakar.[6]
Pada tahun ketiga sejak menjabat khalifah, Abu Bakar jatuh sakit, dan meminta
umar untuk menjadi imam sholat di Masjid. Makin hari, sakit Abu Bakar semakin
parah dan timbul perasaan bahwa ajalnya sudah dekat. Sementara itu, kenangan
tentang pertentangan di balai pertemuan Bani Saidah masih segar dalam
ingatannya. Beliau khawatir jika tidak segera menunjuk pengganti dan ajalnya
segera datang, akan timbul pertentangan dikalangan umat Islam yang lebih hebat
daripada ketika Nabi Wafat dahulu.
Bagi Abu Bakar, orang
yang paling tepat menggantikannya adalah Umar bin Khattab. Dia mulai mengadakan
permusyawarahan tertutup dengan beberapa sahabat senior yang kebetulan
menengoknya dirumah. Di antaranya adalah Abd Ar Rahman bin Auf dan utsman bin
Affan dari kelompok muhajirin, serta Asid bin khudair dari kelompok Anshar.[7]
Sepeninggal Abu Bakar,
Umar bin Khattab dikukuhkan sebagai khalifah kedua dalam suatu bai’at umum dan
terbuka di Masjid Nabawi.[8] Sebagaimana
Abu Bakar, Umar bin Khattab begitu dibai’at menjadi khalifah menyampaikan
pidato penerimaan jabatannya di masjid Nabawi dihadapan kaum muslimin. Pidato
tersebut menggambarkan pandangan umar bahwa jabatan khalifah adalah tugas yang
berat sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang dipimpin harus
terjalin hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan tanggung jawab
tersebut. Setiap urusan harus diurus dan diselesaikan oleh khalifah dengan
baik. Khalifah harus memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah
untuk membantunya. Hukum harus ditegakkan terhadap pelaku tindak kejahatan.
Mengenai garis politik
dan kebijakan umar dalam memerintah, pandangannya tentang seluk beluk negara,
orang yang berhak jadi pemimpin, tanggung jawab kepala negara dan pelayanan
kepada rakyat, hakikat tugas para pejabat negara adalah sama di depan hukum.
Sebagaiman Rasulullah dan
Abu Bakar, khalifah umar juga sangat concern menanamkan semangat
demokrasi secara intensif di kalangan rakyat, di kalangan para pemuka
masyarakat dan di kalangan para pejabat atau para administrator pemerintah. Ia
selalu mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh Ansar dan muhajirin, dengan
rakyat dan dengan para administrator pemerintahan untuk memecahkan
masalah-masalah umum dan kenegaraan.
Karena itu institusi
musyawarah telah di wujudkan oleh khalifah Umar menjadi majelis atau lembaga
tertinggi sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif dalam pemerintahannya.
Setiap keputusan dan peraturan yang dibuat pada masa pemerintahannya diproses
melalui musyawarah. Pada masa pemerintahannya dibentuk dua badan penasehat atau
syura, badan penasehat yang satu merupakan sidang umum yang diundang bersidang
bila negara menghadapi bahaya. Sedang yang lainnya adalah badan khusus yang
membicarakan masalah rutin dan penting. Bahkan pengangkatan dan pencatatan
pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan khusus ini dan keputusannya
dipatuhi.
Pada masa Khalifah Umar
wilayah kekuasaan Negara Madinah makin menjadi luas meliputi semenanjung
Arabia, Palestina, Suria, Irak, Persia dan mesir. Ia menata struktur kekuasaan
dan administrasi pemerintahan negara madinah. Kekuasaan tertinggi yang bertugas
membuat keputusan atas masalah-masalah umum dan kenegaraan yang dihadapi
khalifah adalah majelis permusyawaratan yang dibentuk oleh khalifah Umar,
anggota majelis ini terdiri dari kaum muhajirin dan Ansor.
Adapun kekuasaan eksekutif
dipegang oleh Umar bin Khattab dalam kedudukannya sebagai Khalifah atau kepala
Negara. untuk menunjang kelancaran administrasi dan operasional tugas-tugas
eksekutif, umar melengkapinya dengan jawatan :
1) Jawatan pajak (diwan al kharaj) yang mengelola administrasi pajak tanah di
daerah-daerah yang telah ditaklukkan.
2) Jawatan kepolisian ( diwan al Ahdats) yang bertugas memelihara ketertiban
dan menindak pelanggar-pelanggar hukum yang kemudian diadili oleh qadhi (hakim).
3) Jawatan pekerjaan Umum (Nazarat al Nafi’at) yang bertanggungjawab atas
pembangunan dan pemeliharaan saluran-saluran irigasi,
jalan-jalan,jembatan-jembatan, rumah sakit, gedung-gedung pemerintahan, dsb.
4) Jawatan militer (Diwan al Jund) bertugas mengelola administrasi
kemiliteran.
Pranata sosial politik lain Negara
Madinah yang dibangun oleh Khalifah Umar adalah pelaksanaan administrasi
pemerintah di daerah dengan menerapkan sistem desentralisasi,[9]
yaitupelimpahan wewenang dan otonomi seluas-luanya kepada pemerintah daerah.
Wilayah kekuasaan Negara Madinah yang luas itu dibagi ke dalam delapan
propinsi, yaitu Madinah, Mekkah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Mesir, dan
Palestina. Untuk setiap propinsi Umar mengangkat seorang gubernur yang disebut wali
atau amir yang berkedudukan sebagai pembantu atau wakil khalifah di
daerah. Tugas-tugas penting seorang gubernur disamping sebagai kepala
pemerintah daerah, juga sebagai pemimpin agama, memelihara keamanan dan
ketertiban di daerah, memimpin ekspedisi militer dan mengawasi pelaksanaan
pungutan pajak.[10]
Dalam penyelenggaraan
pemerintahan, usman melaksanakan dan meneruskan kebijakan-kebijakan yang sudah
ditempuh oleh Nabi Muhammad, Abu Bakar, dan Umar, sesuai dengan janji yang
diminta Abdurrahman bin Auf ketika akan di bai’at, dan berjalan cukup efektif khususnya
pada masa 6 tahun pertama pemerintahannya. Disamping melanjutkan kebijakan Abu
Bakar dan Umar, banyak pula hal lain yang dilakukan pada masa-masa ini seperti
perluasan wilayah, penaklukan-penaklukan negeri, perluasan masjid, pembangunan
sarana-sarana umum, penyusunan mushaf, dll.[11]
Usman memang dikenal
seorang hartawan dan kedermawanannya luar biasa. Baik sebelum maupun sesudah
menjadi Khalifah ia menyumbangkan banyak
uang untuk perjuangan Islam. Tampaknya kebiasaan menyumbang tidak bisa ia
tinggalkan, sehingga ketika hartanya sudah habis ia mengambil uang negara untuk
meneruskan kebiasaannya menyumbang lewat tangannya dengan menggunakan uang
negara.
Penyebab utama lain
muncuknya ketidakpercayaan rakyat terhadap khalifah Ustman adalah kerja
musuh-musuh Islam yang tersembunyi. Mereka hanya lahirnya Islam yang hidup di
tengah-tengah umat Islam, tapi batin mereka tetap kafir. Mereka menyebabkan
tentang issu tentang kejelekan-kejelekan Ustman, dan di lain kesempatan
menyebarkan pujian-pujian terhadap Ali. Tokoh utama penyebar fitnah ini adalah
seorang yahudi yang bernama Abdullah bin Saba, berasal dari San’a.
Klimaks dari krisis
kepercayaan rakyat beberapa daerah terhadap kepemimpinan Usman ditandai dengan
timbulnya pemberontakan oleh ribuan orang dari Kuffah, Basrah dan Mesir yang
datang ke Madinah secara bersamaan.mereka mengepung kota itu dan rumah kediaman
Usman. Dan mereka berhasil membunuhnya ketika sedang membaca Al-Quran.
Demikianlah Khalifah
Usman bin Affan yang dikenal jujur, sederhana, dermawan, lemah lembut dan tidak
mau bertindak tegas, mati di tangan kaum pemberontak. Sifatnya yang lemah
lembut itu ternyata dimanfaatkan oleh lawan
aupun kaum kerabatnya untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok.[12]
4. Pemerintahan Ali bin Abi Thalib (35-40 H)
Akhirnya Ali bin Abi Thalib dikukuhkan menjadi Khalifah ke empat menggantikan Usman bin Affan yang mati terbunuh di tangan kaum pemberontak. Ali adalah saudara sepupu nabi Muhammad SAW dan suami dari putri belaiu, Fatimah. Ia yang pertama kali masuk islam dari kalangan anak-anak. Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, ia selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Demikian pula Umar bin Khattab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan Ali. Ia dikenal sebagai orang alim, cerdas dan taat beragama. Maka, ketika Umar menjelang wafat, ia memasukkan Ali dalam anggota badan musyawarah pemilihan khalifah. Tapi yang terpilih adalah Usman. Namun ia tetap menaati keputusan itu dan membaiat Usman serta mendampinginya dalam menjalankan roda pemerintahan. Usman pun pada masa permulaan jabatannya dalam banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan. Ali juga yang tampil membela Usman ketika berhadapan dengan kaum pemberontak dan menempatkan kedua orang putranya di pintu gerbang rumah Usman untuk menjaganya.
Ali dibaiat menjadi menjadi Khalifah di tengah-tengah kekacauan dan
kerusuhan akibat kematian khalifah Usman. Keadaan ini bertambah kritis dan
suasana politik semakin eksplosif akibat tindakan Ali, pembangkangan Muawiyah
bin Abi Sufyan terhadap pengangkatannya menjadi khalifah yang menuntut agar ia
segera menangkap dan mengadili para pembunuh Usman. Hal yang sama juga dituntut
oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir.
Tindakan dan kebijaksanaan Ali segera setelah resmi memegang jabatan
Khalifah adalah memberhentikan semua Gubernur yang diangkat Usman, termasuk
Muawiyah, dengan mengangkat pejabat-pejabat baru. Tanah-tanah yang dibagikan di
zaman Usman kepada keluarganya ditarik kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan
yang ketat terhadap para pejabat pemerintah. Ternyata pejabat baru yang
diangkat oleh Ali menimbulkan pro dan kontra di kalangan rakyat daerah. Ada
yang menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral seperti
Mesir dan Basrah.
Apa yang dikhawatirkan Ibn Abbas benar. Tindakan Ali yang ia maksudkan
untuk memperbaiki keadaan, justru memancing kemarahan keluarga Bani Umayah dan
memperkuat barisan mendukung Muawiyah untuk melawan Ali. Bahkan pembantu dekat
Ali ada yang meninggalkannya dan bergabung dengan Muawiyah. Mereka tidak suka
cara pengawasan Ali yang ketat dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Demikian juga Aisyah, Thalhah dan Zubair menyusun kekuatan di Basrah. Alasan
utama mereka beroposisi terhadap Ali adalah untuk menuntut kematian Usman.
Akhirnya situasi politik yang eksplosif itu tak dapat dibendung. Khalifah
Ali, setelah mengetahui persiapan kedua kubu, Muawiyah dan Aisyah, segera
mengirim utusan untuk mencari jalan damai. Namun usaha tersebut gagal. Maka Ali
pun memberlakukan hukum darurat dan menyatakn perang terhadap para pembangkang
dan pemberontak itu. Tentu Ali punya alasan untuk itu karena mereka menentang
pemerintahan sah yang ia pimpin, dan berarti pula mereka melanggar perintah
Al-Qur’an, surat An-Nisa ayat 59 yang mewajibkan umat islam untuk menaati ulil
amri.
Kubu pertama yang dihadapi Ali dan pasukannya adalah pasukan yang dipimpin
oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair pada tahun 36H yang dikenal dengan Perang
Jamal. Kemenangan berada di pihak Ali. Kemudian Ali menghadapi Muawiyah. Kedua
pasukan bertempur di Shiffin, di lembah sungai Effrat yang kemudian terkenal
dengan Perang Shiffin pada tahun 37 H. Perang ini dihentikan dengan diadakannya
tahkim atas permintaan pihak Muawiyah untuk berdamai yang disiasati oleh
Amr bin Ash. Hasil dari majlis tahkim ini bukannya menyelesaikan ketegangan
untuk mewujudkan perdamaian melainkan terjadinya dualisme pemerintahan. Karena
majlis tahkim, atas rekayasa dan siasat Amr bin Ash, secara sepihak
memberhentikan Ali dari jabatan Khalifah dan mengukuhkan Muawiyah menjadi
Khalifah. Sehingga secara de jure Muawiyah berada di pihak yang menang. Namun
sesudah peristiwa majlis tahkim itu, mayoritas umat Islam tetap mengakui Ali
sebagai khalifah. Dua tahun kemudian, Muawiyah melalui intrik-intrik
politiknya, diproklamasikan menjadi Khalifah.
B. Kaitannya sejarah politik islam dengan konteks indonesia
Harus diakui ada beberapa kasus dan peristiwa pada masa Khalifah Usman dan
Ali yang tidak menyenangkan. Tapi perlu diberi catatan secara umum mengenai
beberapa hal yang dicontohkan Khulafa al-Rasyidin dalam memimpin Negara
Madinah. Pertama, menegenai pengangkatan empat orang sahabat Nabi
menjadi khalifah dipilih dan diangkat dengan dengan cara yang berbeda. Tiga
cara pemilihan pertama, dalam rangka suksesi kepemimpinan menurut Ibnu Hazam,
adalah cara yang menjadi konsensus atau ijma’ sahabat. Karena itu, tiga cara
ini menjadi ijma' dan tidak boleh membuat cara lain. Lagi pula cara-cara
tersebut bukanlah cara yang yang dipakai dalam sistem kerajaan. Cara-cara itu
lebih sesuai atau identik dengan sistem pengangkatan kepala negara dalam
pemerintahan demokratis. Kedua, dalam penyelenggaraan pemerintahan
Negara Madinah Khulafa al-Rasyidin telah melaksanakan prinsip musyawarah,
prinsip persamaan bagi semua lapisan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan,
prinsip kebebasan berpendapat, prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan
rakyat. Negara ini menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia lainnya seperti
hak persamaan bagi golongan minoritas, hak atas keamanan jiwa dan harta, hak
kebebasan beragama, hak bebas dari rasa takut dan sebagainya sebagai realisasi
dari penerapan ajaran Al-qur’an dan Sunnah Rasul.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Abu Bakar menjadi khalifah
karena kesepakatan antara kaum anshar dan kaum muhajirin dalam musyawarah
mereka di Tsaqifah Bani Saidah. Ia menjadi khalifah selama dua tahun. Ia
merupakan khalifah pertama setelah Rasulullah wafat. Janji yang diucapkan Abu
Bakar ketika ia berpidato setelah dibaiat yaitu menjamin kebebasan berpendapat
bagi rakyat untuk mengkritiknya bila ia tidak benar dalam menjalankan
pemerintahannya, menuntut ketaatan dari rakyat selama ia taat kepada Allah dan
Rasul, mewujudkan keadilan dengan memberikan hak-hak orang lemah dan mengambil
hak-hak orang kuat untuk melaksanakan kewajiban mereka bagi kepentingan
masyarakat dan negara, dan mendorong umat agar gemar berjihad dan mendirikan
shalat sebagai salah satu inti dari taqwa.
Berbeda dengan Abu Bakar,
Umar bin Khattab mendapatkan kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui
pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukan
atau wasiat oleh Abu Bakar. Tak jauh beda dengan Abu Bakar, Umar bin Khattab juga
menyampaikan pidato setelah diangkat menjadi khalifah. Pidato tersebut
menggambarkan pandangan umar bahwa jabatan khalifah adalah tugas yang berat
sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang dipimpin harus terjalin
hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut.
Setiap urusan harus diurus dan diselesaikan oleh khalifah dengan baik. Khalifah
harus memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah untuk
membantunya. Hukum harus ditegakkan terhadap pelaku tindak kejahatan.
Selanjutnya Usman bin
Affan yang menggantikan Umar bin Khattab. Disamping melanjutkan kebijakan Abu
Bakar dan Umar, banyak pula hal lain yang dilakukan pada masa-masa ini seperti
perluasan wilayah, penaklukan-penaklukan negeri, perluasan masjid, pembangunan
sarana-sarana umum, penyusunan mushaf, dll. Usman memang dikenal seorang
hartawan dan kedermawanannya luar biasa. Baik sebelum maupun sesudah menjadi
Khalifah ia menyumbangkan banyak uang
untuk perjuangan Islam. Tampaknya kebiasaan menyumbang tidak bisa ia
tinggalkan, sehingga ketika hartanya sudah habis ia mengambil uang negara untuk
meneruskan kebiasaannya menyumbang lewat tangannya dengan menggunakan uang
negara. Itulah yang menjadi kelemahan Usman dan menjadikan banyak
pemberontakan.
Terakhir yaitu Khalifah
Ali bin Abi Thalib. Ia memerintah kurang lebih 5 tahun. Ia dikenal sebagai
orang alim, cerdas, dan taat beragama. Kebijakan- kebijakan Ali semasa itu
mengundang banyak pro dan kontra hingga menimbulkan perang jamal dan perang
shiffin.
DAFTAR PUSTAKA
Pulungan Suyuti. 2002. Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta : Raja Grafindo Persada Ridwan. 2007. Fiqih Politik. Yogyakarta : FH UII
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Fiqih Siyasah. Bandung : CV Pustaka Setia
[1]
Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan
pemikiran, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002)
hlm. 102
[2]
Ridwan, Fiqih Politik,
(Yogyakarta: FH UII Press, 2007) hlm. 153
[3]Suyuti pulungan, op.cit, hlm. 108
[4]
Ibid, hlm. 108
[5]
Ridwan, Fiqih Politik,
(Yogyakarta: FH UII Press, 2007) hlm 159
[6]
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Siyasah,
(bandung: CV pustaka setia, 2008) hlm 215-216
[7]
Ibid, hlm. 216
[8]
Ibid, hlm. 216
[9]
Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan
pemikiran, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 133
[10]
Ibid, hlm. 133.
[11]
Ridwan, Fiqh Politik,
(Yogyakarta: FH UII Press, 2007), hlm. 172-173.
[12]
Suyuthi Pulungan,fiqih siyasah
Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran(jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002) hlm
151
Tidak ada komentar:
Posting Komentar