Senin, 12 Mei 2014

Sejarah Politik Islam masa Khukafaur Rosyidin (Fiqh Siyasah)



SEJARAH POLITIK ISLAM MASA KHULAFAUR ROSYIDIN
Makalah di susun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Fiqh Siyasah
Dosen Pengampu : Dr H. Imam Yahya MAg,


Di susun oleh :
      

1.      Aizatul Fiqiyah      (122311024) 
2.      Iffa Rifqi Lutfiana (122311050) 
3.      Budi Triyono         (122311127) 
4.      Ummu Salamah     (122311128)


(MUAMALAH A IV )

FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
Dengan wafatnya Nabi, berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu ilahi. Situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurut kepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan tuhan yang terakhir. Sementara itu, beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa di antara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Quran maupun hadist Nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal beliau, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah salah satu sebab utama mengapa pada empat Khulafaur Rasyidin ditentukan melalui musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam.
      B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perilaku  politik pada masa Khulafaur Rasyidin ?
2.      Bagaimana kaitannya sejarah politik islam dengan konteks indonesia ?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perilaku politik pada Masa Khalifah
1.    Pemerintah Abu Bakar (11-13 H)
Pengangakatan Abu Bakar menjadi Khalifah merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khalifah dalam sejarah Islam. Pengangkatannya untuk memangku jabatan  tersebut merupakan kesepakatan antara kaum Anshar dan Kaum Muhajirin dalam musyawarah mereka di Tsaqifah Bani Saidah.[1]
Pemilihan Abu Bakar yang terjadi di Tsaqifah, tampak tidak berjalan mulus tanpa hambatan. Bahkan umar sendiri menyebutkan peristiwa terjadi di Tsaqifah dan pembaiatan Abu Bakar sebagai “faltah”, yakni kejadian spontan yang tanpa dipikirkan dan direncanakan sebelumnya. Pemilihan Abu bakar tidak diterima oleh semua pihak.
Penentang  bai’at Abu Bakar yang paling keras dari kalangan Muhajirin adalah Fatimah putri Rasulullah. Fatimah sangat kecewa terhadap Abu Bakar karena tiga hal: pertama, Abu bakar meninggalkan Rasulullah tanpa segera dikuburkan, tetapi justru berebut kekuasaan. Kedua, fatimah menuntut warisan fadak, sebidang kebun di luar Madinah, yang telah diberikan Rasulullah ketika masih hidup namun Abu Bakar menolak memberikannya dengan alasan bahwa para Nabi tidak mewariskan, dan yang mereka tinggalkan adalah sedekah. Ketiga, Abu Bakar bertindak kelewat batas dengan memerintahkan penyerbuan rumah Fatimah.[2]
Pertemuan politik itu merupakan peristiwa sejarah yang penting bagi umat Islam. Suatu peristiwa yang mengikat mereka tetap berada dalam satu kepemimpinan pemerintahan. Dan terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah pertama, menjadi dasar terbentuknya pemerintahan sistem khalifah dalam Islam, yang terkenal dengan khilaf Khulafa’ Al Rasyidin. Sistem ini berlangsung hingga awal abad XX dengan corak yang berlainan. Pemerintahan model khalifah di dunia islam berakhir di Turki sejak Mustafa Kemal menghapusnya pada 3 Maret 1924.
Setelah dikukuhkan oleh umat menjadi khalifah, Abu Bakar menyampaikan pidato penerimaan jabatannya itu di Masjid Nabawi : “wahai manusia, sungguh aku telah memangku  jabatan yang kamu percayakan, padahal aku bukan orang terbaik di antara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku dengan baik maka bantulah aku, dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan kedustaan adalah suatu pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kamu adalah orang yang kuat bagiku sampai aku memenuhi hak-haknya, dan orang kuat di antara kamu lemah bagiku hingga aku mengambil haknya, Insya Allah. Janganlah seseorang dari kamu meninggalkan jihad. Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad, maka Allah akan menimpakan atas mereka suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sekali kali janganlah kamu menaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu”.[3]
Pidato tersebut menggambarkan garis politik dan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan Abu Bakar dalam pemerintahannya. Di dalamnya ia menggariskan beberapa hal penting, yaitu menjamin kebebasan berpendapat bagi rakyat untuk mengkritiknya bila ia tidak benar dalam menjalankan pemerintahannya, menuntut ketaatan dari rakyat selama ia taat kepada Allah dan Rasul, mewujudkan keadilan dengan memberikan hak-hak orang lemah dan mengambil hak-hak orang kuat untuk melaksanakan kewajiban mereka bagi kepentingan masyarakat dan negara, dan mendorong umat agar gemar berjihad dan mendirikan shalat sebagai salah satu inti dari taqwa.[4]
Tantangan pertama pemerintahan Abu Bakar adalah menunjukkan kepada para penentangnya bahwa ia tampil sebagai pemimpin untuk menyelamatkan umat Muhammad dari fitnah atau perpecahan internal umat islam dan tindakan murtad dari mereka yang masih lemah iman, sambil menunjukkan kepada para penentangnya dan kepada umat bahwa ia secara pribadi tidak berambisi pada kekuasaan. Kebijakan Abu Bakar untuk menggunakan cara-cara diplomasi kepada para penentangnya dianggap cukup berhasil, terbukti dengan “bai’at susulan” dari Ali dan kelompoknya dan setelah itu tidak tampak lagi adanya gejolak. Tetapi, terhadap mereka yang melakukan tindakan murtad dan keengganan membayar zakat, cara-cara diplomasi agaknya tidak akan efektif. Mereka bukan orang-orang yang terbiasa menggunakan kekuatan logika, tetapi logika kekuatan. Perang terhadap kelompok ini merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Kebijakan memerangi mereka inilah yang ditempuh Abu Bakar. Sebelum menempuh kebijakan ini Abu Bakar mengadakan rapat untuk meminta saran kepada sahabat-sahabatnya. Sebagian besar sahabat-sahabatnya termasuk umar bin Khattab tidak menghendaki memerangi kelompok pembangkang.
Untuk melaksanakan keputusan tersebut, Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan menunjuk pemimpin masing-masing. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh khalifah Abu Bakar untuk membentuk beberapa pasukan tersebut, dari segi tata negara, menunjukkan bahwa ia juga memegang jabatan panglima tertinggi tentara islam.
Faktor keberhasilan Abu Bakar yang lain ialah membangun pranata sosial di bidang politik dan pertahanan keamanan. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari sikap keterbukaan beliau, yaitu memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada tokoh-tokoh sahabat untuk ikut membicarakan berbagai masalah sebelum ia mengambil keputusan melalui forum musyawarah sebagai lembaga legislatif.
Sedangkan tugas-tugas eksekutif ia delegasikan kepada para sahabat baik untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan di madinah maupun pemerintah di daerah. Untuk menjalankan pemerintahan di Madinah ia mengangkat Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan dan Zaid bin Tsabit sebagai khatib (sekretaris) dan Abu Ubaidah sebagai bendaharawan mengurus baitul mal. Di bidang tugas kemiliteran ia mengangkat panglima perang, untuk tugas yudikatif ia mengangkat Umar bin Khattab sebagai hakim agung.
Adapun urusan pemerintahan di luar kota Madinah, khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hukum negara Madinah menjadi beberapa propinsi, dan setiap propinsi ia menugaskan seorang amir atau wali (gubernur).
Praktek pemerintahan Abu Bakar di bidang pranata sosial ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial rakyat. Untuk kemaslahatan rakyat ini ia mengelola zakat, infaq, shadaqah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah dan jizyah dari warga negara non muslim, sebagai sumber pendapatan baitul mal. Penghasilan yang diperoleh dari sumber pendapatan negara ini dibagikan untuk kesejahteraan tentara, gaji para pegawai negara, dan kepada rakyat yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan Al-Quran.
Abu Bakar Shiddiq menjabat khalifah selama 2 tahun, 6 Bulan, 4 hari. Selama menjalankan pemerintahan, hal-hal penting yang dilakukan adalah diteruskannya pengirim pasukan Usamah menghadapi Rumawi yang pernah dipersiapkan Rasulullah sebelum meninggalnya, perang melawan orang-orang murtad dan para pembangkang yang tidak mau membayar zakat, perang terhadap Musailamah al-Kadzdzab (yang mengakui nabi), dan pengumpulan Al-Quran.[5]
 
2.    Pemerintahan Umar bin Khattab (13-23 H)
Berbeda dengan Abu Bakar, Umar bin Khattab mendapatkan kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukan atau wasiat oleh Abu Bakar.[6] Pada tahun ketiga sejak menjabat khalifah, Abu Bakar jatuh sakit, dan meminta umar untuk menjadi imam sholat di Masjid. Makin hari, sakit Abu Bakar semakin parah dan timbul perasaan bahwa ajalnya sudah dekat. Sementara itu, kenangan tentang pertentangan di balai pertemuan Bani Saidah masih segar dalam ingatannya. Beliau khawatir jika tidak segera menunjuk pengganti dan ajalnya segera datang, akan timbul pertentangan dikalangan umat Islam yang lebih hebat daripada ketika Nabi Wafat dahulu.
Bagi Abu Bakar, orang yang paling tepat menggantikannya adalah Umar bin Khattab. Dia mulai mengadakan permusyawarahan tertutup dengan beberapa sahabat senior yang kebetulan menengoknya dirumah. Di antaranya adalah Abd Ar Rahman bin Auf dan utsman bin Affan dari kelompok muhajirin, serta Asid bin khudair dari kelompok Anshar.[7]
Sepeninggal Abu Bakar, Umar bin Khattab dikukuhkan sebagai khalifah kedua dalam suatu bai’at umum dan terbuka di Masjid Nabawi.[8] Sebagaimana Abu Bakar, Umar bin Khattab begitu dibai’at menjadi khalifah menyampaikan pidato penerimaan jabatannya di masjid Nabawi dihadapan kaum muslimin. Pidato tersebut menggambarkan pandangan umar bahwa jabatan khalifah adalah tugas yang berat sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang dipimpin harus terjalin hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut. Setiap urusan harus diurus dan diselesaikan oleh khalifah dengan baik. Khalifah harus memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya. Hukum harus ditegakkan terhadap pelaku tindak kejahatan.
Mengenai garis politik dan kebijakan umar dalam memerintah, pandangannya tentang seluk beluk negara, orang yang berhak jadi pemimpin, tanggung jawab kepala negara dan pelayanan kepada rakyat, hakikat tugas para pejabat negara adalah sama di depan hukum.
Sebagaiman Rasulullah dan Abu Bakar, khalifah umar juga sangat concern menanamkan semangat demokrasi secara intensif di kalangan rakyat, di kalangan para pemuka masyarakat dan di kalangan para pejabat atau para administrator pemerintah. Ia selalu mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh Ansar dan muhajirin, dengan rakyat dan dengan para administrator pemerintahan untuk memecahkan masalah-masalah umum dan kenegaraan.
Karena itu institusi musyawarah telah di wujudkan oleh khalifah Umar menjadi majelis atau lembaga tertinggi sebagai lembaga pemegang kekuasaan legislatif dalam pemerintahannya. Setiap keputusan dan peraturan yang dibuat pada masa pemerintahannya diproses melalui musyawarah. Pada masa pemerintahannya dibentuk dua badan penasehat atau syura, badan penasehat yang satu merupakan sidang umum yang diundang bersidang bila negara menghadapi bahaya. Sedang yang lainnya adalah badan khusus yang membicarakan masalah rutin dan penting. Bahkan pengangkatan dan pencatatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan khusus ini dan keputusannya dipatuhi.
Pada masa Khalifah Umar wilayah kekuasaan Negara Madinah makin menjadi luas meliputi semenanjung Arabia, Palestina, Suria, Irak, Persia dan mesir. Ia menata struktur kekuasaan dan administrasi pemerintahan negara madinah. Kekuasaan tertinggi yang bertugas membuat keputusan atas masalah-masalah umum dan kenegaraan yang dihadapi khalifah adalah majelis permusyawaratan yang dibentuk oleh khalifah Umar, anggota majelis ini terdiri dari kaum muhajirin dan Ansor.
Adapun kekuasaan eksekutif dipegang oleh Umar bin Khattab dalam kedudukannya sebagai Khalifah atau kepala Negara. untuk menunjang kelancaran administrasi dan operasional tugas-tugas eksekutif, umar melengkapinya dengan jawatan :
1)   Jawatan pajak (diwan al kharaj) yang mengelola administrasi pajak tanah di daerah-daerah yang telah ditaklukkan.
2)   Jawatan kepolisian ( diwan al Ahdats) yang bertugas memelihara ketertiban dan menindak pelanggar-pelanggar hukum yang kemudian diadili oleh qadhi (hakim).
3)   Jawatan pekerjaan Umum (Nazarat al Nafi’at) yang bertanggungjawab atas pembangunan dan pemeliharaan saluran-saluran irigasi, jalan-jalan,jembatan-jembatan, rumah sakit, gedung-gedung pemerintahan, dsb.
4)   Jawatan militer (Diwan al Jund) bertugas mengelola administrasi kemiliteran.
 Pranata sosial politik lain Negara Madinah yang dibangun oleh Khalifah Umar adalah pelaksanaan administrasi pemerintah di daerah dengan menerapkan sistem desentralisasi,[9] yaitupelimpahan wewenang dan otonomi seluas-luanya kepada pemerintah daerah. Wilayah kekuasaan Negara Madinah yang luas itu dibagi ke dalam delapan propinsi, yaitu Madinah, Mekkah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Mesir, dan Palestina. Untuk setiap propinsi Umar mengangkat seorang gubernur yang disebut wali atau amir yang berkedudukan sebagai pembantu atau wakil khalifah di daerah. Tugas-tugas penting seorang gubernur disamping sebagai kepala pemerintah daerah, juga sebagai pemimpin agama, memelihara keamanan dan ketertiban di daerah, memimpin ekspedisi militer dan mengawasi pelaksanaan pungutan pajak.[10]

3.    Pemerintahan Usman bin Affan (23-35H)
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, usman melaksanakan dan meneruskan kebijakan-kebijakan yang sudah ditempuh oleh Nabi Muhammad, Abu Bakar, dan Umar, sesuai dengan janji yang diminta Abdurrahman bin Auf ketika akan di bai’at, dan berjalan cukup efektif khususnya pada masa 6 tahun pertama pemerintahannya. Disamping melanjutkan kebijakan Abu Bakar dan Umar, banyak pula hal lain yang dilakukan pada masa-masa ini seperti perluasan wilayah, penaklukan-penaklukan negeri, perluasan masjid, pembangunan sarana-sarana umum, penyusunan mushaf, dll.[11]
Usman memang dikenal seorang hartawan dan kedermawanannya luar biasa. Baik sebelum maupun sesudah menjadi Khalifah  ia menyumbangkan banyak uang untuk perjuangan Islam. Tampaknya kebiasaan menyumbang tidak bisa ia tinggalkan, sehingga ketika hartanya sudah habis ia mengambil uang negara untuk meneruskan kebiasaannya menyumbang lewat tangannya dengan menggunakan uang negara.
Penyebab utama lain muncuknya ketidakpercayaan rakyat terhadap khalifah Ustman adalah kerja musuh-musuh Islam yang tersembunyi. Mereka hanya lahirnya Islam yang hidup di tengah-tengah umat Islam, tapi batin mereka tetap kafir. Mereka menyebabkan tentang issu tentang kejelekan-kejelekan Ustman, dan di lain kesempatan menyebarkan pujian-pujian terhadap Ali. Tokoh utama penyebar fitnah ini adalah seorang yahudi yang bernama Abdullah bin Saba, berasal dari San’a.
Klimaks dari krisis kepercayaan rakyat beberapa daerah terhadap kepemimpinan Usman ditandai dengan timbulnya pemberontakan oleh ribuan orang dari Kuffah, Basrah dan Mesir yang datang ke Madinah secara bersamaan.mereka mengepung kota itu dan rumah kediaman Usman. Dan mereka berhasil membunuhnya ketika sedang membaca Al-Quran.
Demikianlah Khalifah Usman bin Affan yang dikenal jujur, sederhana, dermawan, lemah lembut dan tidak mau bertindak tegas, mati di tangan kaum pemberontak. Sifatnya yang lemah lembut itu ternyata dimanfaatkan oleh lawan  aupun kaum kerabatnya untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok.[12] 
  
4.    Pemerintahan Ali bin Abi Thalib (35-40 H) 
Akhirnya Ali bin Abi Thalib dikukuhkan menjadi Khalifah ke empat menggantikan Usman bin Affan yang mati terbunuh di tangan kaum pemberontak. Ali adalah saudara sepupu nabi Muhammad SAW dan suami dari putri belaiu, Fatimah. Ia yang pertama kali masuk islam dari kalangan anak-anak. Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, ia selalu mengajak Ali untuk memusyawarahkan masalah-masalah penting. Demikian pula Umar bin Khattab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan Ali. Ia dikenal sebagai orang alim, cerdas dan taat beragama. Maka, ketika Umar menjelang wafat, ia memasukkan Ali dalam anggota badan musyawarah pemilihan khalifah. Tapi yang terpilih adalah Usman. Namun ia tetap menaati keputusan itu dan membaiat Usman serta mendampinginya dalam menjalankan roda pemerintahan. Usman pun pada masa permulaan jabatannya dalam banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan. Ali juga yang tampil membela Usman ketika berhadapan dengan kaum pemberontak dan menempatkan kedua orang putranya di pintu gerbang rumah Usman untuk menjaganya.
Ali dibaiat menjadi menjadi Khalifah di tengah-tengah kekacauan dan kerusuhan akibat kematian khalifah Usman. Keadaan ini bertambah kritis dan suasana politik semakin eksplosif akibat tindakan Ali, pembangkangan Muawiyah bin Abi Sufyan terhadap pengangkatannya menjadi khalifah yang menuntut agar ia segera menangkap dan mengadili para pembunuh Usman. Hal yang sama juga dituntut oleh Aisyah, Thalhah dan Zubeir.
Tindakan dan kebijaksanaan Ali segera setelah resmi memegang jabatan Khalifah adalah memberhentikan semua Gubernur yang diangkat Usman, termasuk Muawiyah, dengan mengangkat pejabat-pejabat baru. Tanah-tanah yang dibagikan di zaman Usman kepada keluarganya ditarik kembali. Khalifah Ali juga menerapkan pengawasan yang ketat terhadap para pejabat pemerintah. Ternyata pejabat baru yang diangkat oleh Ali menimbulkan pro dan kontra di kalangan rakyat daerah. Ada yang menerima dan ada pula yang menolak, serta ada yang bersikap netral seperti Mesir dan Basrah.
Apa yang dikhawatirkan Ibn Abbas benar. Tindakan Ali yang ia maksudkan untuk memperbaiki keadaan, justru memancing kemarahan keluarga Bani Umayah dan memperkuat barisan mendukung Muawiyah untuk melawan Ali. Bahkan pembantu dekat Ali ada yang meninggalkannya dan bergabung dengan Muawiyah. Mereka tidak suka cara pengawasan Ali yang ketat dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Demikian juga Aisyah, Thalhah dan Zubair menyusun kekuatan di Basrah. Alasan utama mereka beroposisi terhadap Ali adalah untuk menuntut kematian Usman.
Akhirnya situasi politik yang eksplosif itu tak dapat dibendung. Khalifah Ali, setelah mengetahui persiapan kedua kubu, Muawiyah dan Aisyah, segera mengirim utusan untuk mencari jalan damai. Namun usaha tersebut gagal. Maka Ali pun memberlakukan hukum darurat dan menyatakn perang terhadap para pembangkang dan pemberontak itu. Tentu Ali punya alasan untuk itu karena mereka menentang pemerintahan sah yang ia pimpin, dan berarti pula mereka melanggar perintah Al-Qur’an, surat An-Nisa ayat 59 yang mewajibkan umat islam untuk menaati ulil amri.
Kubu pertama yang dihadapi Ali dan pasukannya adalah pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair pada tahun 36H yang dikenal dengan Perang Jamal. Kemenangan berada di pihak Ali. Kemudian Ali menghadapi Muawiyah. Kedua pasukan bertempur di Shiffin, di lembah sungai Effrat yang kemudian terkenal dengan Perang Shiffin pada tahun 37 H. Perang ini dihentikan dengan diadakannya tahkim atas permintaan pihak Muawiyah untuk berdamai yang disiasati oleh Amr bin Ash. Hasil dari majlis tahkim ini bukannya menyelesaikan ketegangan untuk mewujudkan perdamaian melainkan terjadinya dualisme pemerintahan. Karena majlis tahkim, atas rekayasa dan siasat Amr bin Ash, secara sepihak memberhentikan Ali dari jabatan Khalifah dan mengukuhkan Muawiyah menjadi Khalifah. Sehingga secara de jure Muawiyah berada di pihak yang menang. Namun sesudah peristiwa majlis tahkim itu, mayoritas umat Islam tetap mengakui Ali sebagai khalifah. Dua tahun kemudian, Muawiyah melalui intrik-intrik politiknya, diproklamasikan menjadi Khalifah.
B.     Kaitannya sejarah politik islam dengan konteks indonesia
Harus diakui ada beberapa kasus dan peristiwa pada masa Khalifah Usman dan Ali yang tidak menyenangkan. Tapi perlu diberi catatan secara umum mengenai beberapa hal yang dicontohkan Khulafa al-Rasyidin dalam memimpin Negara Madinah. Pertama, menegenai pengangkatan empat orang sahabat Nabi menjadi khalifah dipilih dan diangkat dengan dengan cara yang berbeda. Tiga cara pemilihan pertama, dalam rangka suksesi kepemimpinan menurut Ibnu Hazam, adalah cara yang menjadi konsensus atau ijma’ sahabat. Karena itu, tiga cara ini menjadi ijma' dan tidak boleh membuat cara lain. Lagi pula cara-cara tersebut bukanlah cara yang yang dipakai dalam sistem kerajaan. Cara-cara itu lebih sesuai atau identik dengan sistem pengangkatan kepala negara dalam pemerintahan demokratis. Kedua, dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Madinah Khulafa al-Rasyidin telah melaksanakan prinsip musyawarah, prinsip persamaan bagi semua lapisan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, prinsip kebebasan berpendapat, prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Negara ini menghargai prinsip-prinsip hak asasi manusia lainnya seperti hak persamaan bagi golongan minoritas, hak atas keamanan jiwa dan harta, hak kebebasan beragama, hak bebas dari rasa takut dan sebagainya sebagai realisasi dari penerapan ajaran Al-qur’an dan Sunnah Rasul.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Abu Bakar menjadi khalifah karena kesepakatan antara kaum anshar dan kaum muhajirin dalam musyawarah mereka di Tsaqifah Bani Saidah. Ia menjadi khalifah selama dua tahun. Ia merupakan khalifah pertama setelah Rasulullah wafat. Janji yang diucapkan Abu Bakar ketika ia berpidato setelah dibaiat yaitu menjamin kebebasan berpendapat bagi rakyat untuk mengkritiknya bila ia tidak benar dalam menjalankan pemerintahannya, menuntut ketaatan dari rakyat selama ia taat kepada Allah dan Rasul, mewujudkan keadilan dengan memberikan hak-hak orang lemah dan mengambil hak-hak orang kuat untuk melaksanakan kewajiban mereka bagi kepentingan masyarakat dan negara, dan mendorong umat agar gemar berjihad dan mendirikan shalat sebagai salah satu inti dari taqwa.
Berbeda dengan Abu Bakar, Umar bin Khattab mendapatkan kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka, tetapi melalui penunjukan atau wasiat oleh Abu Bakar. Tak jauh beda dengan Abu Bakar, Umar bin Khattab juga menyampaikan pidato setelah diangkat menjadi khalifah. Pidato tersebut menggambarkan pandangan umar bahwa jabatan khalifah adalah tugas yang berat sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang dipimpin harus terjalin hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut. Setiap urusan harus diurus dan diselesaikan oleh khalifah dengan baik. Khalifah harus memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya. Hukum harus ditegakkan terhadap pelaku tindak kejahatan.
Selanjutnya Usman bin Affan yang menggantikan Umar bin Khattab. Disamping melanjutkan kebijakan Abu Bakar dan Umar, banyak pula hal lain yang dilakukan pada masa-masa ini seperti perluasan wilayah, penaklukan-penaklukan negeri, perluasan masjid, pembangunan sarana-sarana umum, penyusunan mushaf, dll. Usman memang dikenal seorang hartawan dan kedermawanannya luar biasa. Baik sebelum maupun sesudah menjadi Khalifah  ia menyumbangkan banyak uang untuk perjuangan Islam. Tampaknya kebiasaan menyumbang tidak bisa ia tinggalkan, sehingga ketika hartanya sudah habis ia mengambil uang negara untuk meneruskan kebiasaannya menyumbang lewat tangannya dengan menggunakan uang negara. Itulah yang menjadi kelemahan Usman dan menjadikan banyak pemberontakan.
Terakhir yaitu Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia memerintah kurang lebih 5 tahun. Ia dikenal sebagai orang alim, cerdas, dan taat beragama. Kebijakan- kebijakan Ali semasa itu mengundang banyak pro dan kontra hingga menimbulkan perang jamal dan perang shiffin.




DAFTAR PUSTAKA
Pulungan Suyuti. 2002. Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta : Raja Grafindo Persada               
Ridwan. 2007. Fiqih Politik. Yogyakarta : FH UII 
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Fiqih Siyasah. Bandung : CV Pustaka Setia









[1] Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) hlm. 102
[2] Ridwan, Fiqih Politik, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007) hlm. 153
[3]Suyuti pulungan, op.cit, hlm. 108
[4] Ibid, hlm. 108
[5] Ridwan, Fiqih Politik, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007) hlm 159
[6] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Siyasah, (bandung: CV pustaka setia, 2008) hlm 215-216
[7] Ibid, hlm. 216
[8] Ibid, hlm. 216
[9] Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah Ajaran, Sejarah dan pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 133
[10] Ibid, hlm. 133.
[11] Ridwan, Fiqh Politik, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), hlm. 172-173.
[12] Suyuthi Pulungan,fiqih siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran(jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002) hlm 151

Tidak ada komentar:

Posting Komentar