JARIMAH
TA’ZIR
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Fiqih jinayah
Dosen
Pengampu : Drs.Rokhmadi, M.Ag.
Di Susun Oleh :
Budi
Triyono (122311127)
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
A. Pendahuluan
a. Latar
belakang
Islam adalah agama yang dasar-dasar
hukumnya bersumber dari Al Qur’an, hadist, dan Ar-ra’yu sehingga dalam
pelaksanaan hukumannya. Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Adapun aturan-aturan yang telah di gariskan, islam sebagai agama Rahmatal’lilalamin,
senatiasa berisikan aturan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi
manusia, yang akhir-akhir ini menjadi dalih semua orang untuk mendapatkan
keadilan, bahkan hukuman yang telah lama ada dan bersumber langsung dari Allah
SWT ini, merupakan hukuman yang seadil-adilnya karena hokum di Islam
berlandaskan Qishas, yaitu hukuman balasan. Contohnya, apabila orang membunuh
maka orang tersebut harus di hokum mati juga. Kemudian, di Islam juga di
kenakan macam-macam hukuman untuk hukuman ta’zir. Semisal hukuman mati, hukuman
jilid, dan lain-lain sesuai tingkat ringan maupun berat atas sesuatu kesalahan
atau kejahatan.
Di
makalah ini pemakalah akan membahas jarimah ta’zir atau pengajaran dari
pengertian, macam-macam jarimah ta’zir dan hukuman bagi pelaku yang
melanggarnya.
b. Rumusan
Masalah
1. Pengertian
Jarimah Ta’zir ?
2. Macam-Macam
Jarimah Ta’zir ?
3. Macam-Macam
hukuman Ta’zir ?
4. Pengecualian/orang
yang tidak dapat di hukum ta’zir ?
B. Pembahasan
a. Pengertian
Jarimah Ta’zir
Jarimah Ta’zir secara bahasa adalah
memberi pengajaran (al-ta’dib). Sedangkan
jarimah Ta’zir menurut hukum pidana islam adalah tindakan yang berupa
edukatif (pengajaran) terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sanksi hadd
dan kifaratnya. Atau kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif
dan hukumannya di tentukan oleh hakim, atau pelaku tindak pidana atau pelaku
perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan oleh syari’at.[1]
Dapat
dijelaskan bahwa dijelaskan ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas
jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’, dikalangan para
fuqoha jarimah yang hukumannya belum di tetapkan oleh syara’ disebut dengan
jarimah ta’zir. Dapat dipahami juga bahwa jarimah ta’zir terdiri atas
perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak di kenakan hukuman had dan tidak pula
kifarat.[2]
Jadi,hukuman ta’zir tidak mempunyai batas-batas hukuman tertentu, karena syara’
hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, mulai dari yang seringan-ringannya sampai
yang seberat-beratnya. Dengan kata lain, hakim yang berhak menetukan macam
tindak pidana beserta hukumannya, karena hukumannya belum di tentukan oleh
syara’.[3]
Dengan demikian ciri khas dari jarimah
ta’zir adalah :
1. Hukumannya
tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya hukuman tersebut belum di tentukan
oleh syara’.
2. Penetuan
hukuman tersebut adalah oleh hakim.[4]
Aturan
hukum pidana islam yang paling fleksibel terdapat pada jarimah ta’zir, Pada
kategori jarimah ini, baik kriminalisasi suatu perbuatan maupun hukumannya
diserahkan kepada Hakim. Jadi ta’zir merupakan hukuman bagi perbuatan pidana
(jarimah) yang tidak ada ketetapannya nas tentang hukumnya.[5]
1. Jika
dilihat dari eksistensinya jarimah ta’zir sama dengan jarimah hudud, karena
keduanya sama-sama sebagai pengajaran (al-ta’lib) untuk mencapai kemaslahatan
dan sebagai tindakan preventif yang macam hukumnya berbeda-beda sesuai jenis
perbuatan dosaatau tindak pidana yang dilakukan. Jika pada jarimah hudu sudah
ditentukan secara pasti dan jelas hukuman-hukumannya, dan tidak bisa dirubah
atau diganti, sedangkan pada jarimah ta’zir belum ditentukan hukumannya.[6]
Mengenai
macam-macam hukuman yang ada pada jarimah ta’zir adalah mulai dari memberi
nasehat atau peringatan, hukuman cambuk, penjara, dan lain-lain, bahkan sampai
hukuman mati, jika jarimah yang dilakukan benar-benar sangat membahayakan, baik
yang dirasakan oleh dirinya maupun masyarakat. Oleh karena itu hakim boleh
memilih hukuman tersebut tentunya disesuaikan dengan jenis perbuatan atau
tindak pidana yang dilakukan, baik mengenai kkriteria pelakunya maupun
factor-faktor penyebabnya.[7]
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa
Umar bin khathab ra. Pernah menjatuhkan hukuman ta’zir dan pembinaan dengan
memotong rambut, mengasingkan, dan cambuk. Sebagaiman dia juga pernah membakar
warung para tukang khamar serta kampong tempat perjualan khamar. Dia juga
membakar istana Sa’ad bin Abi Waqqash di kufah lantaran keberadaan istana ini
membuatnya tertutup dengan rakyat. Dia membuat cambuk untuk memukul orang yang
layak mendapatkan cambukan serta membuat bangunan penjara dan mencambuk wanita
yang meratapi jenazah hingga rambutnya terlihat. Tiga imam Fiqih mengatakan itu
wajib, syafi’I mengatakan tidak wajib.
Pelaksanaan hukuman pada jarimah ta’zir
yang sudah diputuskan oleh hakim, juga menjadi hak penguasa Negara atau petugas
yang ditunjuk olehnya. Hal ini oleh karena hukuman itu disyari’atkan untuk
melindungi masyarakat, dengan demikian hukuman tersebut menjadi haknya dan
dilaksanakan oleh wakil masyarakat, yaitu penguasa Negara seperti presiden atau
aparat Negara. Orang lain, selain penguasa atau orang yang ditunjuk oleh nya
tidak boleh melaksankan hukuman ta’zir, meskipun hukuman tersebut menghilangkan
nyawa. Apabila iamelaksanakan sendiri dan hukumannya berupa hukuman mati
sebagai ta’zir maka ia dianggap sebagai pembunuh, walaupun sebenarnya hykuman mati
tersebut adalah hukuman yang menhilanhkan nyawa.[8]
Dari uraian tersebut di atas terlihat
adanya perbedaan pertanggung jawaban dari pelaksanaan hukuman yang tidak
mempunyai wewenang, dalam melaksanakan hukuman mati sebagai had dan sebagai
ta’zir. Orang yang melaksanakan sendiri hukuman mati sebagai had, tidak
dianggap sebagai pembunuh, sedangkan yang melaksanaakan sendiri hukuman mati
sebagai ta’zir dianggap sebagai pembunuh. Perbedaan tersebut disebabkan ,
karena hukuman had adalah hukuman yang sidah pasti yang tidak bias digugurkan
atau dimaafkan, sedangkan hukuman ta’zir masih bias dimaafkan oleh penguasa
Negara, apabila situasi dan kondisi menghendaki untuk dimaafkan dengan berbagai
pertimbangan.[9]
b. Macam-macam
jarimah Ta’zir
Dapat dijelaskan bahwa dari hak yang
dilanggar, jarimah ta’zair dapat dibago kepada dua bagian, yaitu
1. Jarimah
ta’zir yang menyinggung hak Allah;
2. Jarimah
ta’zir yang menyinggung hak individu.
Dari
segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu
a. Ta’zir
karena melakukan perbuatan maksiat;
b. Ta’zir
karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum;
c. Ta’zir
karena melakukan pelanggaran.
Di samping itu, dilihat dari segi dasar
hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat di bagi menjadi kepada tiga bagian,
yaitu sebagai berikut.
1) Jarimah
ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishas, tetapi
syarat-syaratnya tidak dipenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak
mencapai nishab, atau oleh keluaraga sendiri.
2) Jarimah
ta’zir yang jenisnya disebutkna dalam nas syara’ tetapi hukumannya belum
ditetapkan, sepeti riba, suap,dan mengurangi takaran dan timbangan.
3) Jarimah
ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’.
Jenis ketiga ini
sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai
pemerintah.
Abdul aziz amir membagi
secara rinci kepada beberapa bagian, yaitu
a) Jarimah
ta’zir yang berkaitan denag pembunuhan;
b) Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan perlukaan;
c) Jarimah
ta’zir yang berkaitna dengan kejahatan kehormatan dan kerusakan akhlak;
d) Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan harta.
e) Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu;
f) Jarimah
ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum.[10]
c. Macam-macam
hukuman jarimah Ta’zir
Hukuman ta’zir adalah jumlahnya sangat
banyak, karena mencakup semua perbuatan maksiat yang hukumannya belum
ditentukan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri utnuk mengaturnya dari
hukuman yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam penyelesaian perkara
yang termasuk jarimah ta’zir, hakim diberi wewenang untuk memilih diantara
kedua hukuman tersebut,mana yang sesuai dengan jarimah yang dilakukan oleh
palaku.
Dalam ta’zir, hukuman itu tidak
ditetapkan dengan ketentuan (dari Allah dan rasulnya), dan Qodhi diperkenankan
untuk mempertimbangkan baik bentuk hukuman yang akan dikenakan kadarnya.[11]
Melukai atau penganiayaan bisa sengaja,
semi sengaja, dan kesalahan. Dalam hal ini para ulama membaginya menjadi lima
macam, yaitu:
1. Ibanat
al-athraf, yaitu memotong anggota badan, termasuk di dalamnya pemotongan
tangan, kaki, hidung, gigi, dan sebagainya.
2. Idzhab
ma’a al-athraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan (anggota badan tetap
ada tapi tidak bisa berfungsi), misalnya membuat korban tuli, buta, bisu, dan
sebagainya.
3. As-syaj,
yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka (secara khusus)
4. Al-jarh,
yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala termasuk di dalamnya yang tidak
masuk ke dalam perut atau rongga dada dan yang masuk ke dalam perut atau
anggota dada.
5. Pelukaan
yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari empat jenis pelukaan di atas.
Jenis-jenis hukam ta’zir ini adalah
sebagai berikut :
1. Hukumann
Ta’zir yang Berkaitan dengan Badan
a. Hukuman
mati
Dalam makalah-makalh sebelumnya telah
dijelaskan bahwa hukuman mati ditetapkan sebagai hukuman qishash utnuk
pembunuhan sengaja dan sebagai hukuman had untuk jarimah hirabah, zina muhson,
riddah, dan jarimah pemberontakan. Untuk jarimah ta’zir, hukuman mati ini di
terapkan oleh para fuqoha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil
amri untuk menerapakan hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang
jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah tersebut dilakukan
berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang dan menghina nabi
beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk
islam.
b. Hukuman
jilid (Dera)
Alat yang digunakan untuk hukuman jilid
ini adalah cambuk yang pertengahan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak
terlalau kecil) atau tongkat. Pendapat ini juga dikemukakan oleh imam Ibn Taimiyah,
dengan alas an karena sebaik-baiknya perkara adlah pertengahan.
Apabila orang yang dihukum ta’zir itu
laki-laki maka baju yang menghalanginya sampainya cambuk ke kulit harus dibuka.
Akan tetapi, apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak
boleh dibuka, karena jika demikian akan ternukalah auratnya.[12]
2. Hukuman
yang Berkaitan dengan Kemerdekaan
a) Hukuman
penjara
Maksud hukuman penjara disini bukanlah
menahan pelaku di tempat yang sempit, melainkan menahan sseorang yang
mencegahnya agar ia tidak melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di
dalam rumah, atau masjid, maupun ditempat lainnya. Penahan itulah yang
dilakukan pada masa nabi dan Abu bakar. Artinya, pada masa Nabi dan Abu bakar
tidak ada tempat yang khusus disediakan untuk menahan seseorang pelaku.[13]
b) Hukuman
pengasingan
Hukuman pengasingan termasuk hukuman had
yang diterapkan untuk pelaku tindak
pidana hirabah (perampokan) berdasarkan Qs. Al- Maidah ayat 33 :
إنما
جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا أن يقتلوا أو يصلبوا أو
تقطع أيديهم
وأرجلهم
من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم في الآخرة عذاب عظيم
Yang artinya :
“sesungguhnya pembalsan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rasulnya dan membuat kerusakan di mka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau di potong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik,
atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya) (QS. Al-Maidah:33)[14]
3. Hukuman
Ta’zir yang Berkaitan dengan Harta
a. Status
hukumannya
Para ulama berpendapat tentang
dibolehkannya hukuman ta’zir dengan cara mengambil harta. Pendapat ini di
bolehkan apabila dipandang membawa maslahat. Pengambilan harta ini bukan semata
untuk diri hakim atau untuk kas umum (Negara), melainkan hanya menahannya untuk
sementara waktu. Adapun apabila pelaku tidak bias di harapkan untuk bertobat
maka hakim dapat men-tasarufkan harya tersebut untuk kepentingan yang
mengandung maslahat.
Hukuman-Hukuman Ta’zir yang Lain
Selain hukuman-hukuman yang telah di
sebutukan di atas, terdapat hukuman ta’zir yang lain hukuman tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Peringatan
keras
2. Dihadirkan
di hadapan sidang
3. Di
beri nasehat
4. Celaan
5. Pengucilan
6. Pemecatan
7. Pengumuman
kesalahan secara terbuka.[15]
4. Pengecualian/orang
yang tidak dapat di hukum ta’zir
Penecualian
dalam tanggung jawab hukuman, Ali bin Abi thalib berkata kepada Umar bin
Khattab : “apakah engkau tahu bahwa tidaklah di catat perbuatan baik atau
buruk, dan tidak pula dituntut tanggung jawab atas apa yang dilakukan, karena
hal berikut:
1. Orang
yang gila sampai dia sadar
2. Anak-anak
sampai dia mencapai usia dewasa/baligh
3. Orang
yang tidur sampai dia bangun”. (Riwayat Imam bukhari.)
Berdasarkan riwayat diatas, kita dapat
mengetahui tanggung jawab hukum atau tidak pidana dalam syariat.Tanggung jawab
atau tindak pidana yang dilakukan dibenarkan kepada pelaku kejahatan itu
sendiri. Ayah, Ibu, saudara atau kerabatnya yang laintak dapat mengambil
alih/menjalankan hukuman karena kejahatan yang dilakukan sebagaimana yang telah
terjadi pada masa jahiliyah, sebelum islam. Al-Qur’anul karim menjelaskan bahwa
tak seorangpun yang akan memikul beban orang lain.
Q.S Al-An’am :124
وإذا
جاءتهم آية قالوا لن نؤمن حتى نؤتى مثل ما أوتي رسل الله الله أعلم حيث يجعل
رسالته سيصيب الذين أجرموا صغار عند الله وعذاب شديد بما كانوا يمكرون
"Apabila datang sesuatu ayat kepada
mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada
kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan
Allah." Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.
Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa
yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.” (Q.S
Al-An’am: 124)[16]
Tanggung jawab bersama
itu hanya akan dipikul oleh keluarga tersebut dalam hal pembayaran hutang darah
(Diyat) atau kerusakan karena suatu kejahatan. Dalam hal ini, si pelaku,
demikian pula kerabatnya dari pihak ayah, secara bersama akan bertanggung jawab
untuk membayar “Diyat” (hutang darah) atau kerusakan fisik yang diakibatkan
oleh kejahatannya.[17]
C. Penutup
a. Simpulan
Jarimah
ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir.
Pengertian ta’zir
secara bahasa adalah memberi pengajaran.
Sedangkan pengertian
jarimah ta’zir adalah tindakan yang berupa edukatif (pengajaran) terhadap
pelaku perbuatan dosa yang tindkannya tidak ada sanksi had dan kifaratnya. Atau
dengan kata lain, ta’zir adalah hukuman yang bersifat edukatif yang ditentukan
oleh hakim, terhadap pelaku tindak pidana atau pelaku perbuatan maksiat yang
hukumannya belum ditentukan oleh syari’at.
Mengenai
macam-macam hukuman yang ada pada jarimah ta’zir adalah mulai dari memberi
nasehat, peringatan, hukuman cambuk, penjara, dan lain-lain, bahkan sampai
hukuman mati, jika jarimah uang dilakukan benar-benar sangat membahayakan, baik
yang diraskan oleh dirinya maupun masyarakat oleh karena itu hakim boleh
memilih hukuman mulai yang paling ringan smapai yang paling berat. Pemberian
berat hukuman tersebut tentunya disesuaikan dengan jenis perbuata atau tindak
pidana yang dilakukan baik mengenai kriteria maupun factor-faktor penyebabnya.
Orang yang tidak dapat dikenai hukuman :
1. Orang
yang gila sampai dia sadar
2. Anak-anak
sampai dia mencapai usia dewasa/baligh
3. Orang
yang tidur sampai dia bangun”.
b. Penutup
Alhamdulillah, Demikian
makalah ini yang telah kami buat dan kami paparkan, kami menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan. maka dari
itu kritik dan saran dari teman-teman sangat kami harapakan. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat dan menambah
ilmu pengetahuan bagi pemakalah khusunya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Amiin
c. Daftar
pustaka
Muslich, Ahmad wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar
Grafika,2005.
Syahrur, Muhammad, Limitasi Hukum Pidana Islam, Semarang:
Walisongo Press. 2008.
Rokhmadi, Reformasi Hukum Pidana Islam, Semarang: Rasail
Media Group
Santoso, topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta:
Gema Insani Press, 2003.
Rahman, abdur, Tindak Pidana Islam, Jakarta: Rineka
Cipta, 1992.
[1]
Rokhmadi, Reformasi Hukum Pidana Islam,
(semarang: RASAIL Media Group,2009), Cet. 1, hlm 66
[2]
Ahmad wardi muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta:
Sinar grafika, 2005), hlm 249
[3]
Rokhmadi Op.Cit
[4]
Ahmad wardi muslich, Op.Cit
[5]
Muhammad syahrur, Limitasi Hukum Pidana Islam,(semarang Walisongo Press,2008),
hlm 34
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8]
Ahmad Wardi muslich, Op. Cit, hlm 171
[9] Ibid. hlm. 172
[10]
Ahmad wardi muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta:
Sinar grafika, 2005), hlm 255-156
[11]
Abdur rahman, tindak pidana dalam syariat
islam, (Jakarta): Rineka cipta, 1992), hlm 14
[12]
Ahmad wardi muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta:
Sinar grafika, 2005), hlm 260
[13] Op. Cit
[14]
Ahmad wardi muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta:
Sinar grafika, 2005), hlm 264
[15]
Ahmad wardi muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta:
Sinar grafika, 2005), hlm 264-268
[16] Abdur
rahman, tindak pidana dalam syariat
islam, (Jakarta): Rineka cipta, 1992), hlm 15
[17]
Abdur rahman, tindak pidana dalam syariat
islam, (Jakarta): Rineka cipta, 1992), hlm 16