TA’WIL
DALIL QAT’I dan ZANNI
Makalah
Di
susun guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Ushul Fiqh 2
Dosen
Pengampu : Dr.Rupi’I Amri, M.Ag.
Di
Susun Oleh :
Budi
Triyono (122311127)
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Kajian
tentang ilmu agama Islam pada dasarnya membicarakan dua hal pokok. Pertama,
tentang apa yang harus diyakini umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan
tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Aqiqah”. Kedua, tentang apa
yang harus diamalkan umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang hal ini
kemudian berkembang menjadi “Ilmu Syari’ah”.
Ilmu syari’ah itu, pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakaukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat kelak. Perangkat materi tersebut, secara mudahnya disebut “Fiqh”. Kedua tentang cara usaha dan ketentuan dalam menghasilkan materi fiqh tersebut. Hal yang kedua ini secara mudahnya, disebut “Ushul Fiqh”. Dengan demikian, ushul fiqh merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan agama Islam. Ushul fiqh dipelajari sejalan dengan mempelajari fiqh dan diajarkan sejalan dengan pelajaran fiqh. Ushul fiqh merupakan mata ajaran pokok dalam ilmu pengetahuan agama Islam.
Ilmu syari’ah itu, pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakaukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat kelak. Perangkat materi tersebut, secara mudahnya disebut “Fiqh”. Kedua tentang cara usaha dan ketentuan dalam menghasilkan materi fiqh tersebut. Hal yang kedua ini secara mudahnya, disebut “Ushul Fiqh”. Dengan demikian, ushul fiqh merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan agama Islam. Ushul fiqh dipelajari sejalan dengan mempelajari fiqh dan diajarkan sejalan dengan pelajaran fiqh. Ushul fiqh merupakan mata ajaran pokok dalam ilmu pengetahuan agama Islam.
Dalam
pembahasan ushul fiqh, di kenal istilah qat’i- zanny. Para ulama ushul
(Ushuliyah) dalam memahami nash (al-qur’an) dan (Al-sunnah) untuk
menunjunjukkan sumber hukumnya menjadi dua kategori, yakni nash yang bersifat
qat’I dan zanny, dalam makalah ini akan di bahas ta’wil dalil qat’I dan zanny.
B. RUMUSAN
MASALAH
a. Definisi
Ta’wail ?
b. Syarat
- syarat Ta’wil ?
c. Macam
- macam Ta’wil ?
d. Bentuk
- bentuk Ta’wil ?
e. Pengertian
qat’i dan zanny ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ta’wil
Menurut
Bahasa ta’wil di ambil dari kata awwala –yuawwili –ta’wilan : kembali kepada
asalnya. Ada pula yang mengatakan bahwa ta’wil berasal dari akar kata “Al ‘Aulu
yang berarti “Ar Ru’yu “Kembali”.
atau dari kata al ma’al artinya tempat kembali; al- iyalah yang berarti al
–siyasah yang berarti mengatur Ta’wil ialah memindahkan sesuatu
perkataan dari makna yang terang (zhahir) kepada makna yang tidak terang (lemah
= marjuh) karena ada sesuatu dalil yang menyebakan makna kedua tersebut harus
di pakai.[1] Definisi
lain menyebutkan bahwa Ta’wil yaitu “memalingkan lafaz dari arti yang lahir
kepada arti lain yang mungkin di jangkau oleh dalil”.
B. Syarat
– syarat Ta’wil
Adapun
Syarat –syarat Ta’wil adalah :
1. Ta’wil
harus berdasarkan dalil syara’, baik nash (Qur’an dan hadis), qiyas ataupun
jiwa syari’at dan dasar-dasarnya yang umum.
2. Kalau
dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut jelas (qiyas jali)
3. Ta’wil
harus sesuai dengan penggunaan Bahasa dan kebiasaan syari’at.[2]
4. Ada
hal yang mendorong untuk di ta’wilkan seperti :
a. Bentuk
lahir lafal berlawanan dengan lafal yang lebih tinggi dari dalil itu. Contohnya
: suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada
kemungkinan untuk di ta’wilkan maka hadis itu akan di ta’wilkan saja dari pada
di tolak sama sekali.
b. Nash
itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dalalahnya. Contohnya suatu lafal dalam
bentuk zhahir di peruntunkan untuk suatu objek. Tetapi ada makna lain yang
meenyalahinya dalam bentuk nash.
c. Lafal
itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafal lain yang
mufassar.[3]
Para ulama ushul fiqh telah sepakat
tentang maksudnya ta’wil soal-soal furu’. Dalam soal-soal ushul (pokok) seperti
soal keperdayaan, sifat-sifat tuhan dan pokok-pokok agama, pendapat, ulama
ushul berbeda-beda.[4]
Ta’wil dalam soal-soal ushul sebenarnya dalam
pembicaraan ilmu kalam. alangkah baiknya di singgung sedikit dalam pembahasan
ini. Dalam soal ini ada 3 pendapat:
1. Soal-soal
ushul tidak kemasukan ta’wil sama sekali seprti ayat-ayat yang menyatakan bahwa
tuhan berada Arasy, bertangan, bermuka dan mempunyai mata. Ini pendapat
golongan musyabbihah. Pendapat ini terang salah, karena mempersamakan tuhan
dengan makhluknya.
2. Soal-soal
ushul kemasukan ta’wil dengan menyerahkan ta’wilnya kepada tuhan sendiri.
3. Soal-soal
kemasukan ta’wil dan kita ta’wilkan sendiri. [5]
contoh:
Qs. Taha: 5
الرحمن على العرش استوى...
Artinya: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.
Qs. Al Fath: 10
يد الله فوق أيديهم...
Artinya: “Tangan Allah di atas tangan
mereka”
Nas-nas tersebut
dinamakan mutasyabihat (masih samar). Menurut lahirnya nash itu, tuhan sama
dengan makhluk, karena ia bertempat, dan mempunyai tangan, sedang menurut akal,
tidak mungkin tuhan menyerupai makhluk. Karena itu kita percaya, bahwa bukanlah
makna-makna yang lahir itu yang di maksudkan. kehendak ialah maknanya yang
sesuai dengan tuhan tanpa mempersamakan Dia dengan makhluk-Nya.bagaimana makna tersebut kita serahkan
kepada Allah. Demikian pendirian para ulama khalaf.[6]
C. Macam
– macam ta’wil
Secara garis besarnya,
ada dua macam pembagian ta’wil :
1. Ta’wil
al-quran atau hadist nabi yang di duga mengandung bentuk penyamaan sifat tuhan
dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa
Allah itu tidak ada yang menyamai-Nya.
Seperti menta’wilkan
kata “tangan Allah” pada Surat al-ma’idah ayat 64 :
بل
يداه مبسوطتان ينفق كيف يشا ...
Artinya
: “Bahkan dua tangannya terbuka lebar,
memberi menurut sesukanya”.
Menurut
sebagian ulama, semua usaha seperti di atas termasuk dalam lingkup “tafsir”
yang di tuntut dalam usaha menyucikan Allah dari anggapan penyamaan dengan
makhluknya. Bentuk seperti itu disebut “tafsir” dengan majaz masyhar.
2. Ta’wil
bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha
mengkompromikan Antara hukum-hukum dalam ayat alqur’an atau hadis nabi yang
kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wil yang bertujuan
mendekatkan ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda (bertentangan) dapat di
amalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip: “mengamalkan dua dalil yang
kelihatannya bertentangan lebih baik dari pada membuang keduanya atau satu di
antaranya”. [7]
Contohnya:
menta’wilkan surat: al-baqarah: 240 dengan al-baqarah: 234
Qur’an
surat al-baqarah: 240
والذين
يتوفون منكم ويذرون أزواجا وصية لأزواجهم متاعا إلى الحول غير إخراج فإن خرجن فلا
جناح عليكم في ما فعلن في أنفسهن من معروف والله عزيز حكيم
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia
di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk
isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka
tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”
Qur’an surat al-baqarah
234:
والذين يتوفون
منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا فإذا بلغن أجلهن فلا جناح
عليكم فيما فعلن في أنفسهن بالمعروف والله بما تعملون خبير
Artinya
: Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian
apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka (Berhias, atau bepergian, atau menerima
pinangan)
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Ta’wil itu meskipun pada dasarnya
menyimpang dari pemahaman ayat, namun sewaktu-waktu dapat dibenarkan bila
memenuhi syarat-syarat yang di tentukan. Kadang-kadang tidak di benarkan
menggunakan ta’wil atau ta’wil di anggap tidak sah dan salah, bila tidak ada
hal yang mendorong untuk menta’wilkan suatu ayat; atau ada dorongan untuk
menta’wil, tetapi dilakukan tidak menurut ketentuan atau ta’wil itu
bertentangan dengan haqiqah syara’ dan menyalahi nash yang qat’i.
D. Bentuk
– bentuk ta’wil
1. Dari
segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua bentuk ta’wil, yaitu :
a. Ta’wil
maqbul atau ta’wil yang di terima.
Yaitu ta’wil yang telah memenuhi persyaratan di atas. Ta’wil dalam bentuk ini
di terima keberadaanya oleh ulama Ushul.
b. Ta’wil
ghair al-maqbul atau ta’wil yang di
tolak, yaitu ta’wil yang hanya di dasarkan kepada selera atau dorongan lain dan
tidak terpenuhi syarat yang ditentukan ta’wil ba’id.[8]
2. Dan
segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafadz yang dii ta’wil dari makna
zhahirnya, ta’wil di bagi kepada dua bentuk :
a. Ta’wil
qarib, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zhahirnya, sehingga
dengan petunjuk yang sederhana dapat di pahami maksudnya. Ta’wil ini termasuk
maqbul.
b. Ta’wil
ba’id, yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafadz yang sebegitu jauhnya,
sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
Bila pada lafaz yang di
ta’wil itu terdapat dalil kuat yang akan memberi petunjuk kepada maknanya, maka
ta’wil inii termasuk kepada yang maqbul. Tetapi bila pada lafaz itu tidak terdapat
dalil kuat yang menjelaskannya dan tidak dapat di ketahui dengan dalil
sederhana, maka ta’wil ini termasuk yang ghairu maqbul.[9]
Contoh ta’wil yang
jauh:
Qs. Al-mujadalah: 4
فمن لم
يستطع فإطعام ستين مسكينا
Artinya: Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah
atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
Menurut
golongan syafi’iyah dalam ayat di atas membayar kifarat tersebut boleh
diberikan kepada seorang miskin, tempo 60 hari. Menurut mereka kebutuhan
seorang dalam 60 hari sama dengan kebutuhan 60 orang miskin sehari. Ta’wil
semacam ini sudah jauh, karena
menghilangkan bilangan orang-orang miskin.[10]
E. Pengertian
Qat’I dan zanny
Kata
Qat’I berasal dari Bahasa arab al-qat’I yang berbentuk dari kata qat’un,
kemudian terdapat tambahan ya’nisbah.[11]
Kata qat’un adalah bentuk masdar dari fi’il sulasi mujarrad:
qata’a-yaqtau-qat’an.[12]
Secara etimologi, kata dasar qat’un terbentuk dari huruf qaf, ta,
dan ayn. Kata tersebut menunjukkan kepada arti “memotong dan menceraikan
sesuatu dari sesuatu.” Dapat di katakana bahwa,[13]
“aku memotong sesuatu berkeping-keping.” Secara leksikal, munawwir mengartikan
kata qat’I ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “secara pasti”. Maksudnya ialah
kata qat’I berarti arti katanya sudah pasti dan tidak bisa di ta’wilkan atau
tak bisa di ganti dengan arti lain.
Contoh ayat qat’I :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا
لِيَعْبُدُون
Artinya: ” Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”.
(Qs, Adz Dzaariyat: 56)
Dari
ayat ini bisa kita lihat dalam hidup kita di perintah Allah untuk beribadah,
dan ayat ini tidak bisa di ta’wilkan, dan ayat ini sudah pasti. kata لِيَعْبُدُون pada
firman diatas adalah agar mereka tunduk, patuh, dan melakukan peribadatan.[14]
Sedangkan
kata zanny juga berasal dari Bahasa Arab al-zanny, yang tebentuk dari kata
zannun, kemudian di tambah ya’ nisbah.[15]
Kata zannun adalah bentuk masdar dari fi’il sulasi mujarrad:
zanna-yazunnu-zannan.[16]
Secara etimologi, kata zanna terbentuk dari huruf za’ dan nun. Ia menunjukkan
dua arti yang berlawanan, yaitu: yakin dan ragu.[17]
Sedangkan
menurut terminologi, kata qat’I dan zanny dapat di lihat atau di rujuk pada dua
aspek; aspek pertama al subut atau al wurud yang menunjukkan dari eksistensi
sumber hukum (otentisitas dan validitasnya), dan kedua, aspek dalalah yang
menunjukkan indikasi sumber hukum eksistensi yang bersifat pasti, maka sumber
hukum tersebut di sebut qat’I al-subut/ qat’I al wurud, sedangkan apabila hukum
tersebut eksistensinya tidak bersifat pasti, maka sumber hukum tersebtu di
sebut zanny al subut/ zanny al-wurud.[18]
Contoh
ayat zanny:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ولا يحل لهن
أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كن يؤمن بالله واليوم الآخر وبعولتهن أحق
بردهن في ذلك إن أرادوا إصلاحا ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة
والله عزيز حكيم
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Maksudnya, wanita yang ditalak oleh
suaminya يتربصن بأنفسهن “hendaklah menahan diri (menunggu)”, artinya
hendaklah mereka menunggu dan menjalani iddah selama “tiga kali quru”, yaitu
haidh atau suci menurut perbedaan pendapat para ulama tentang maksud dari quru’
tersebut, walaupun yang benar bahwa quru’ itu adalah hadih.
Dalam
ushul fiqh, istilah qat’i-zanny di
gunakan untuk menyatakan tingkat kekuatan suatu dalil atau nas. Kata qat’I
adalah sinonim dengan kata-kata daruri, yakin, pasti, absolut atau mutlak
sedangkan kata zanny adalah sinonim dengan kata hadari, yaitu dugaan, relative
atau nisbi.[19]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat di
simpulkan :
Ta’wil
yaitu “memalingkan lafaz dari arti yang lahir kepada arti lain yang mungkin di
jangkau oleh dalil
Syarat –syarat Ta’wil adalah :
1. Ta’wil
harus berdasarkan dalil syara’, baik nash (Qur’an dan hadis), qiyas ataupun
jiwa syari’at dan dasar-dasarnya yang umum.
2. Kalau
dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut jelas (qiyas jail)
3. Ta’wil
haru sesuai dengan penggunaan Bahasa dan kebiasaan syari’at.
Bentuk
– bentuk ta’wil
1. Dari
di terima atau di tolaknya:
a.
Ta’wil
maqbul atau ta’wil yang di terima
b.
Ta’wil
ghair al-maqbul atau ta’wil yang di
tolak
2. Dari
segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafadz yang dii ta’wil dari makna
zhahirnya:
a. Ta’wil
qarib
b. Ta’wil
ba’id
Macam – macam ta’wil
a. Ta’wil
al-quran atau hadist nabi yang di duga mengandung bentuk penyamaan sifat tuhan
dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa
Allah itu tidak ada yang menyamai-Nya.
b. Ta’wil
bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha
mengkompromikan Antara hukum-hukum dalam ayat alqur’an atau hadis nabi yang
kelihatan menurut lahirnya bertentangan.
B. SARAN
Alhamdulillah,
Demikian makalah ini yang telah kami buat dan kami paparkan, sebagai manusia kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. maka dari itu kritik dan saran dari teman-teman yang
bersifat konstruktif sangat kami harapakan demi kesempurnaan makalah ini dan
berikutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat
dan menambah ilmu pengetahuan bagi pemakalah khusunya dan bagi para
pembaca pada umumnya. Amiin
C. DAFTAR
PUSTAKA
Rokhmadi, Rekonstruksi Konsep Qat’i Dan Zanny Menurut
Al-Syatibi, Semarang: Rasail media group, 2009
Syarifuddin,
Amir, Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008.
Karim,
Syafi’i, Fiqih/Ushul
Fiqih. Bandung: Pustaka Setia,
1997.
Totok jumantoro dan samsul
munir amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta:
Amzah, 2009.
Izzudin
Ibnu Abdis Salam Syeikh, kaidah-kaidah
Hukum Islam. Bandung: Nusa Media, 2011
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurthubi.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
[1]
Syafi’I karim, Fiqih/Usahul fiqih, (
Bandung : Pustaka Setia,1997 ) hlm 199
[2]
Amir syarifuddin, Ushul fiqih, Jilid 2, (
Jakarta : Kencana,2009 ) hlm 41
[3]
Totok jumantoro dan samsul munir amin, kamus ilmu ushul fiqh (Jakarta: Amzah,
2009 ) hlm 321
[4]
Syafi’I Karim, fiqih/Ushu fiqh, ( Bandung: Pustaka Setia, 1997 ) hlm 199
[5]
Syafi’I Karim, fiqih/Ushu fiqh, ( Bandung: Pustaka Setia, 1997 ) hlm 199-200
[6]
Syafi’I Karim, fiqih/Ushu fiqh, ( Bandung: Pustaka Setia, 1997 ) hlm 200
[7]
Amir syarifuddin, Ushul fiqih, Jilid 2, (
Jakarta : Kencana,2009 ) hlm 47
[8]
Amir syarifuddin, Ushul fiqih, Jilid 2 (
Jakarta : Kencana,2009 ) hlm 43
[9]
Amir syarifuddin, Ushul fiqih, Jilid 2 (
Jakarta : Kencana,2009 ) hlm 43-44
[10]
Syafi’I Karim, fiqih/Ushu fiqh, ( Bandung: Pustaka Setia, 1997 ) hlm 202
[11] Ahmad
warson munawwir, Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia ( Yogyakarta: pondok
pesantren al-munawwir,1994) hlm 1509-1510
[12] Lowis
makhluf, al-munjid fi al lughah wa
al-a’lam (Beirut: dar al-masyriq, 1975 ) hlm 638 kutipan Rokhmadi di buku rekonstruksi konsep qat’I dan zanny, (
semarang: Rasail media group, 2009 )hlm 15
[13] Abu
al-husyar ahmad bin faris bin zakariyya, mu’jam maqayis al-lughah(Beirut: dar
al-fikr.) hlm 101
[15]
Ahmad warson munawwir, Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia ( Yogyakarta: pondok
pesantren al-munawwir,1994) hlm 1509-1510
[16] Louis
Ma’luf, op cit. hlm 481
[17]
Ibn faris, op cit, III, hlm 462
[18]
Muhammad Mustafa syalabi, usul al- fiqh islamiy, (Beirut: Dar al-nahdah
al-Arabiah 1406/1986), hlm 93-94
[19]
M. Syuhudi Isma’il, konsep qat’I dan zanny dalam kaitannya dengan
al-sunnah,(Makalah Diskusi) (Jakarta: Balitbang Depag RI-HPIS) tgl 12-13
September 1993.