Selasa, 25 Maret 2014

Ta'wil dalil qat'i dan zanni

TA’WIL DALIL QAT’I dan ZANNI
Makalah
Di susun guna memenuhi  tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh 2
Dosen Pengampu : Dr.Rupi’I Amri, M.Ag.



Di Susun Oleh :
Budi Triyono (122311127)

FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Kajian tentang ilmu agama Islam pada dasarnya membicarakan dua hal pokok. Pertama, tentang apa yang harus diyakini umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Aqiqah”. Kedua, tentang apa yang harus diamalkan umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu Syari’ah”.
          Ilmu syari’ah itu, pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama tentang materi perangkat ketentuan yang harus dilakaukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat kelak. Perangkat materi tersebut, secara mudahnya disebut “Fiqh”. Kedua tentang cara usaha dan ketentuan dalam menghasilkan materi fiqh tersebut. Hal yang kedua ini secara mudahnya, disebut “Ushul Fiqh”. Dengan demikian, ushul fiqh merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan agama Islam. Ushul fiqh dipelajari sejalan dengan mempelajari fiqh dan diajarkan sejalan dengan pelajaran fiqh. Ushul fiqh merupakan mata ajaran pokok dalam ilmu pengetahuan agama Islam.
Dalam pembahasan ushul fiqh, di kenal istilah qat’i- zanny. Para ulama ushul (Ushuliyah) dalam memahami nash (al-qur’an) dan (Al-sunnah) untuk menunjunjukkan sumber hukumnya menjadi dua kategori, yakni nash yang bersifat qat’I dan zanny, dalam makalah ini akan di bahas ta’wil dalil qat’I dan zanny.
B.     RUMUSAN MASALAH
a.       Definisi Ta’wail ?
b.      Syarat - syarat Ta’wil ?
c.       Macam - macam Ta’wil ?
d.      Bentuk - bentuk Ta’wil ?
e.       Pengertian qat’i dan zanny ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ta’wil
Menurut Bahasa ta’wil di ambil dari kata awwala –yuawwili –ta’wilan : kembali kepada asalnya. Ada pula yang mengatakan bahwa ta’wil berasal dari akar kata “Al ‘Aulu yang berarti “Ar Ru’yu “Kembali”. atau dari kata al ma’al artinya tempat kembali; al- iyalah yang berarti al –siyasah yang berarti mengatur Ta’wil ialah memindahkan sesuatu perkataan dari makna yang terang (zhahir) kepada makna yang tidak terang (lemah = marjuh) karena ada sesuatu dalil yang menyebakan makna kedua tersebut harus di pakai.[1] Definisi lain menyebutkan bahwa Ta’wil yaitu “memalingkan lafaz dari arti yang lahir kepada arti lain yang mungkin di jangkau oleh dalil”.
B.     Syarat – syarat Ta’wil
Adapun Syarat –syarat Ta’wil adalah :
1.      Ta’wil harus berdasarkan dalil syara’, baik nash (Qur’an dan hadis), qiyas ataupun jiwa syari’at dan dasar-dasarnya yang umum.
2.      Kalau dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut jelas (qiyas jali)
3.      Ta’wil harus sesuai dengan penggunaan Bahasa dan kebiasaan syari’at.[2]
4.      Ada hal yang mendorong untuk di ta’wilkan seperti :
a.       Bentuk lahir lafal berlawanan dengan lafal yang lebih tinggi dari dalil itu. Contohnya : suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada kemungkinan untuk di ta’wilkan maka hadis itu akan di ta’wilkan saja dari pada di tolak sama sekali.
b.      Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dalalahnya. Contohnya suatu lafal dalam bentuk zhahir di peruntunkan untuk suatu objek. Tetapi ada makna lain yang meenyalahinya dalam bentuk nash.
c.       Lafal itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafal lain yang mufassar.[3]
Para ulama ushul fiqh telah sepakat tentang maksudnya ta’wil soal-soal furu’. Dalam soal-soal ushul (pokok) seperti soal keperdayaan, sifat-sifat tuhan dan pokok-pokok agama, pendapat, ulama ushul berbeda-beda.[4]
Ta’wil dalam soal-soal ushul sebenarnya dalam pembicaraan ilmu kalam. alangkah baiknya di singgung sedikit dalam pembahasan ini. Dalam soal ini ada 3 pendapat:
1.      Soal-soal ushul tidak kemasukan ta’wil sama sekali seprti ayat-ayat yang menyatakan bahwa tuhan berada Arasy, bertangan, bermuka dan mempunyai mata. Ini pendapat golongan musyabbihah. Pendapat ini terang salah, karena mempersamakan tuhan dengan makhluknya.
2.      Soal-soal ushul kemasukan ta’wil dengan menyerahkan ta’wilnya kepada tuhan sendiri.
3.      Soal-soal kemasukan ta’wil dan kita ta’wilkan sendiri. [5]
contoh: Qs. Taha: 5
الرحمن على العرش استوى...
Artinya: (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.
Qs. Al Fath: 10
يد الله فوق أيديهم...
                        Artinya: “Tangan Allah di atas tangan mereka”
Nas-nas tersebut dinamakan mutasyabihat (masih samar). Menurut lahirnya nash itu, tuhan sama dengan makhluk, karena ia bertempat, dan mempunyai tangan, sedang menurut akal, tidak mungkin tuhan menyerupai makhluk. Karena itu kita percaya, bahwa bukanlah makna-makna yang lahir itu yang di maksudkan. kehendak ialah maknanya yang sesuai dengan tuhan tanpa mempersamakan Dia dengan makhluk-Nya.bagaimana makna tersebut kita serahkan kepada Allah. Demikian pendirian para ulama khalaf.[6]
C.     Macam – macam ta’wil
Secara garis besarnya, ada dua macam pembagian ta’wil :
1.      Ta’wil al-quran atau hadist nabi yang di duga mengandung bentuk penyamaan sifat tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamai-Nya.
Seperti menta’wilkan kata “tangan Allah” pada Surat al-ma’idah ayat 64 :
بل يداه مبسوطتان ينفق كيف يشا ...
Artinya : “Bahkan dua tangannya terbuka lebar, memberi menurut sesukanya”.
Menurut sebagian ulama, semua usaha seperti di atas termasuk dalam lingkup “tafsir” yang di tuntut dalam usaha menyucikan Allah dari anggapan penyamaan dengan makhluknya. Bentuk seperti itu disebut “tafsir” dengan majaz masyhar.
2.      Ta’wil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha mengkompromikan Antara hukum-hukum dalam ayat alqur’an atau hadis nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wil yang bertujuan mendekatkan ini, kedua dalil yang kelihatannya berbeda (bertentangan) dapat di amalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan prinsip: “mengamalkan dua dalil yang kelihatannya bertentangan lebih baik dari pada membuang keduanya atau satu di antaranya”. [7]
Contohnya: menta’wilkan surat: al-baqarah: 240 dengan al-baqarah: 234
Qur’an surat al-baqarah: 240
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا وصية لأزواجهم متاعا إلى الحول غير إخراج فإن خرجن فلا جناح عليكم في ما فعلن في أنفسهن من معروف والله عزيز حكيم
Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Qur’an surat al-baqarah 234:
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا فإذا بلغن أجلهن فلا جناح عليكم فيما فعلن في أنفسهن بالمعروف والله بما تعملون خبير
     Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka (Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan) menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Ta’wil itu meskipun pada dasarnya menyimpang dari pemahaman ayat, namun sewaktu-waktu dapat dibenarkan bila memenuhi syarat-syarat yang di tentukan. Kadang-kadang tidak di benarkan menggunakan ta’wil atau ta’wil di anggap tidak sah dan salah, bila tidak ada hal yang mendorong untuk menta’wilkan suatu ayat; atau ada dorongan untuk menta’wil, tetapi dilakukan tidak menurut ketentuan atau ta’wil itu bertentangan dengan haqiqah syara’ dan menyalahi nash yang qat’i.
D.    Bentuk – bentuk ta’wil
1.      Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua bentuk ta’wil, yaitu :
a.       Ta’wil maqbul atau ta’wil yang di terima. Yaitu ta’wil yang telah memenuhi persyaratan di atas. Ta’wil dalam bentuk ini di terima keberadaanya oleh ulama Ushul.
b.      Ta’wil ghair al-maqbul atau ta’wil yang di tolak, yaitu ta’wil yang hanya di dasarkan kepada selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi syarat yang ditentukan ta’wil ba’id.[8]
2.      Dan segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafadz yang dii ta’wil dari makna zhahirnya, ta’wil di bagi kepada dua bentuk :
a.       Ta’wil qarib, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zhahirnya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapat di pahami maksudnya. Ta’wil ini termasuk maqbul.
b.      Ta’wil ba’id, yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafadz yang sebegitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.
Bila pada lafaz yang di ta’wil itu terdapat dalil kuat yang akan memberi petunjuk kepada maknanya, maka ta’wil inii termasuk kepada yang maqbul. Tetapi bila pada lafaz itu tidak terdapat dalil kuat yang menjelaskannya dan tidak dapat di ketahui dengan dalil sederhana, maka ta’wil ini termasuk yang ghairu maqbul.[9]
Contoh ta’wil yang jauh:
Qs. Al-mujadalah: 4
فمن لم يستطع فإطعام ستين مسكينا
Artinya: Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
Menurut golongan syafi’iyah dalam ayat di atas membayar kifarat tersebut boleh diberikan kepada seorang miskin, tempo 60 hari. Menurut mereka kebutuhan seorang dalam 60 hari sama dengan kebutuhan 60 orang miskin sehari. Ta’wil semacam  ini sudah jauh, karena menghilangkan bilangan orang-orang miskin.[10]
E.     Pengertian Qat’I dan zanny
Kata Qat’I berasal dari Bahasa arab al-qat’I yang berbentuk dari kata qat’un, kemudian terdapat tambahan ya’nisbah.[11] Kata qat’un adalah bentuk masdar dari fi’il sulasi mujarrad: qata’a-yaqtau-qat’an.[12]
      Secara etimologi, kata dasar qat’un terbentuk dari huruf qaf, ta, dan ayn. Kata tersebut menunjukkan kepada arti “memotong dan menceraikan sesuatu dari sesuatu.” Dapat di katakana bahwa,[13] “aku memotong sesuatu berkeping-keping.” Secara leksikal, munawwir mengartikan kata qat’I ke dalam Bahasa Indonesia menjadi “secara pasti”. Maksudnya ialah kata qat’I berarti arti katanya sudah pasti dan tidak bisa di ta’wilkan atau tak bisa di ganti dengan arti lain.
Contoh ayat qat’I :
 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُون
                        Artinya: ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya                    mereka menyembahKu”. (Qs, Adz Dzaariyat: 56)
Dari ayat ini bisa kita lihat dalam hidup kita di perintah Allah untuk beribadah, dan ayat ini tidak bisa di ta’wilkan, dan ayat ini sudah pasti. kata لِيَعْبُدُون pada firman diatas adalah agar mereka tunduk, patuh, dan melakukan peribadatan.[14]
Sedangkan kata zanny juga berasal dari Bahasa Arab al-zanny, yang tebentuk dari kata zannun, kemudian di tambah ya’ nisbah.[15] Kata zannun adalah bentuk masdar dari fi’il sulasi mujarrad: zanna-yazunnu-zannan.[16] Secara etimologi, kata zanna terbentuk dari huruf za’ dan nun. Ia menunjukkan dua arti yang berlawanan, yaitu: yakin dan ragu.[17]
Sedangkan menurut terminologi, kata qat’I dan zanny dapat di lihat atau di rujuk pada dua aspek; aspek pertama al subut atau al wurud yang menunjukkan dari eksistensi sumber hukum (otentisitas dan validitasnya), dan kedua, aspek dalalah yang menunjukkan indikasi sumber hukum eksistensi yang bersifat pasti, maka sumber hukum tersebut di sebut qat’I al-subut/ qat’I al wurud, sedangkan apabila hukum tersebut eksistensinya tidak bersifat pasti, maka sumber hukum tersebtu di sebut zanny al subut/ zanny al-wurud.[18]
Contoh ayat zanny:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ولا يحل لهن أن يكتمن ما خلق الله في أرحامهن إن كن يؤمن بالله واليوم الآخر وبعولتهن أحق بردهن في ذلك إن أرادوا إصلاحا ولهن مثل الذي عليهن بالمعروف وللرجال عليهن درجة والله عزيز حكيم                                                                                                                                 

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
      Maksudnya, wanita yang ditalak oleh suaminya يتربصن بأنفسهن  “hendaklah menahan diri (menunggu)”, artinya hendaklah mereka menunggu dan menjalani iddah selama “tiga kali quru”, yaitu haidh atau suci menurut perbedaan pendapat para ulama tentang maksud dari quru’ tersebut, walaupun yang benar bahwa quru’ itu adalah hadih.
Dalam ushul fiqh, istilah  qat’i-zanny di gunakan untuk menyatakan tingkat kekuatan suatu dalil atau nas. Kata qat’I adalah sinonim dengan kata-kata daruri, yakin, pasti, absolut atau mutlak sedangkan kata zanny adalah sinonim dengan kata hadari, yaitu dugaan, relative atau nisbi.[19]






BAB III
    PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat di simpulkan :
Ta’wil yaitu “memalingkan lafaz dari arti yang lahir kepada arti lain yang mungkin di jangkau oleh dalil
Syarat –syarat Ta’wil adalah :
1.      Ta’wil harus berdasarkan dalil syara’, baik nash (Qur’an dan hadis), qiyas ataupun jiwa syari’at dan dasar-dasarnya yang umum.
2.      Kalau dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut jelas (qiyas jail)
3.      Ta’wil haru sesuai dengan penggunaan Bahasa dan kebiasaan syari’at.
Bentuk – bentuk ta’wil
1.      Dari di terima atau di tolaknya:
a.      Ta’wil maqbul atau ta’wil yang di terima
b.      Ta’wil ghair al-maqbul atau ta’wil yang di tolak
2.      Dari segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafadz yang dii ta’wil dari makna zhahirnya:
a.       Ta’wil qarib
b.      Ta’wil ba’id
Macam – macam ta’wil
a.       Ta’wil al-quran atau hadist nabi yang di duga mengandung bentuk penyamaan sifat tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada yang menyamai-Nya.
b.      Ta’wil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha mengkompromikan Antara hukum-hukum dalam ayat alqur’an atau hadis nabi yang kelihatan menurut lahirnya bertentangan.

B.     SARAN
Alhamdulillah, Demikian makalah ini yang telah kami buat dan kami paparkan, sebagai manusia kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. maka dari  itu kritik dan saran dari teman-teman yang bersifat konstruktif sangat kami harapakan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat  dan menambah ilmu pengetahuan bagi pemakalah khusunya dan bagi para pembaca pada umumnya. Amiin

C.     DAFTAR PUSTAKA
Rokhmadi, Rekonstruksi Konsep Qat’i Dan Zanny Menurut Al-Syatibi, Semarang: Rasail media group, 2009
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008.
Karim, Syafi’i, Fiqih/Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Totok jumantoro dan samsul munir amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2009.
Izzudin Ibnu Abdis Salam Syeikh, kaidah-kaidah Hukum Islam. Bandung: Nusa Media, 2011
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir Al Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. 


[1] Syafi’I karim, Fiqih/Usahul fiqih, ( Bandung : Pustaka Setia,1997 ) hlm 199
[2] Amir syarifuddin, Ushul fiqih, Jilid 2, ( Jakarta : Kencana,2009 ) hlm 41
[3] Totok jumantoro dan samsul munir amin,  kamus ilmu ushul fiqh (Jakarta: Amzah, 2009 ) hlm 321
[4] Syafi’I Karim, fiqih/Ushu fiqh, ( Bandung: Pustaka Setia, 1997 ) hlm 199
[5] Syafi’I Karim, fiqih/Ushu fiqh, ( Bandung: Pustaka Setia, 1997 ) hlm 199-200
[6] Syafi’I Karim, fiqih/Ushu fiqh, ( Bandung: Pustaka Setia, 1997 ) hlm 200
[7] Amir syarifuddin, Ushul fiqih, Jilid 2, ( Jakarta : Kencana,2009 ) hlm 47
[8] Amir syarifuddin, Ushul fiqih, Jilid 2 ( Jakarta : Kencana,2009 ) hlm 43
[9] Amir syarifuddin, Ushul fiqih, Jilid 2 ( Jakarta : Kencana,2009 ) hlm 43-44
[10] Syafi’I Karim, fiqih/Ushu fiqh, ( Bandung: Pustaka Setia, 1997 ) hlm 202
[11] Ahmad warson munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia  ( Yogyakarta: pondok pesantren al-munawwir,1994) hlm 1509-1510
[12] Lowis makhluf, al-munjid fi al lughah wa al-a’lam (Beirut: dar al-masyriq, 1975 ) hlm 638 kutipan Rokhmadi di buku rekonstruksi konsep qat’I dan zanny, ( semarang: Rasail media group, 2009 )hlm 15
[13] Abu al-husyar ahmad bin faris bin zakariyya, mu’jam maqayis al-lughah(Beirut: dar al-fikr.) hlm 101
[14] Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir Al Qurthubi (Pustaka Azzam ) hlm 295-296
[15] Ahmad warson munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia  ( Yogyakarta: pondok pesantren al-munawwir,1994) hlm 1509-1510
[16] Louis Ma’luf, op cit. hlm 481
[17] Ibn faris, op cit, III, hlm 462
[18] Muhammad Mustafa syalabi, usul al- fiqh islamiy, (Beirut: Dar al-nahdah al-Arabiah 1406/1986), hlm 93-94
[19] M. Syuhudi Isma’il, konsep qat’I dan zanny dalam kaitannya dengan al-sunnah,(Makalah Diskusi) (Jakarta: Balitbang Depag RI-HPIS) tgl 12-13 September 1993.